16 April 2018
Bacaan: Lukas 10:25-37
Saya teringat dengan salah satu pengalaman menarik ketika menjadi tim humas dari Konvensi Injil Nasional (KIN) 2015. Kala itu dengan seorang rekan pemuda, kami mencoba untuk mengajak para aktivis pelayanan mahasiswa di salah satu kampus di Jakarta untuk mengikuti acara ini. Target saya, harus ada beberapa pengurus inti dari persekutuan itu yang ikut. Mereka itu kuncinya, kira-kira begitu pikir saya.
Sampai di tempat persekutuan, kami bertemu dengan beberapa pengurus. Kami paparkan semua tetek-bengek yang diperlukan, bahkan rekan saya sampai sulit mengatur nafas karena saking semangatnya. Maklum, doi gendut (sebut saja Thressia, bukan nama sesungguhnya).
Tidak lama, ternyata kekecewaan menghampiri kami. Hanya ada satu pengurus yang sempat tanya-tanya, tapi pada akhirnya dia hanyalah seorang pemberi harapan palsu. Banyak nanya, lalu habis itu selesai, wah anjay. Sisanya hanyalah seorang anak (yang saya anggap cupu sekali) datang dan mendekati kami. Setelah ngobrol singkat, kami bertukar nomor HP.
Tidak lama, ternyata kekecewaan menghampiri kami. Hanya ada satu pengurus yang sempat tanya-tanya, tapi pada akhirnya dia hanyalah seorang pemberi harapan palsu. Banyak nanya, lalu habis itu selesai, wah anjay. Sisanya hanyalah seorang anak (yang saya anggap cupu sekali) datang dan mendekati kami. Setelah ngobrol singkat, kami bertukar nomor HP.
Beberapa minggu kemudian, saya diminta untuk menghubungi anak tersebut agar dia dipastikan mendaftar. Jujur, saya malas. Anak cupu begitu, juga bukan aktivis pelayanan mahasiswa lagi, apa signifikansinya? Begitu keluh saya.
Tetapi, tiba-tiba satu pikiran segera menghardik benak saya. “Bukan kita yang memutuskan siapa yang pantas atau tidak dalam menerima anugerah.” Kalau Tuhan memang membimbing kalian ke sana hanya untuk si cupu satu itu, maka dialah satu-satunya maksud dari dikirimnya kalian ke tempat itu. Tuhan mau si cupu itu, dan bukan yang lain.
Inilah ironi dari sebuah refleksi kali ini. Predikat sebagai aktivis keagamaan malah membuat kita gagal melihat apa yang Tuhan maksudkan. Karena merasa sudah cukup paham, kita gagal mengenali siapa sesama kita, orang-orang yang Tuhan mau berikan anugerah. Kita merasa mampu menjadi penentu dan penilai dari siapa yang layak untuk kita bawa kepada Tuhan.
Demikianlah ketika kita lupa bahwa kita ini hanya hamba yang mengintil kepada pimpinan Tuhan saja. Realitas dari seluruh rangkaian pelayanan hanyalah sebuah upaya untuk kita boleh belajar dan melihat bagaimana Tuhan bekerja. Dalam setiap keberhasilan maupun kegagalan, mari kita belajar melihat siapa yang Dia mau dan ke mana.