nilai

Hidup kita di dunia ini, dari sejak kita lahir, bahkan dari dalam kandungan hingga kita mati, tidak pernah terlepas dari konsep nilai. Saat dalam kandungan, kita dinilai dengan ada atau tidaknya kelainan. Salah satu tolak ukurnya adalah berapa ukuran kepala kita, berapa panjang tubuh kita, termasuk berapa detak jantungnya per menit. Saat kita lahir, kita juga dinilai dengan satu sistem nilai yang disebut dengan Apgar Score. Sistem nilai ini digunakan untuk menilai kesehatan bayi terhadap risiko kematian. Kemudian sejak kehadiran kita di dunia, secara periodik perkembangan kita akan dipantau dan dinilai apakah pertumbuhan dan perkembangan kita sehat atau tidak. Bila semua nilai itu baik, kita dianggap sebagai bayi yang sehat.
Ketika memasuki usia sekolah dari TK hingga pendidikan tinggi, hidup kita juga tidak terlepas dari nilai. Kelulusan kita dari suatu mata pelajaran ditentukan oleh nilai dari hasil ujian kita. Kita dianggap anak pintar dan berhasil bila nilai kita tinggi atau mampu menjadi juara kelas, dan kita bangga bila hal itu terjadi pada kita.
Saat memasuki dunia kerja, hidup kita pun ditentukan dari nilai. Bila kita memperoleh gaji yang tinggi dan memiliki posisi jabatan yang tinggi, kita menganggap nilai hidup kita bertambah. Kita bangga dan bahagia, apalagi ketika orang-orang lebih tunduk kepada kita dan mendengarkan kita.
Menjelang usia tua, hidup kita pun dinilai. Kita disibukkan dengan memeriksakan diri ke dokter dan laboratorium untuk mengukur seberapa sehatkah kita berdasarkan angka-angka yang keluar dari hasil laboratorium tersebut.
Angka menjadi patokan dalam hidup kita untuk menilai sesehat apa, sepintar apa, sesukses apa hidup kita. Kita cenderung ikut tenggelam, turut serta di dalam penilaian tersebut, dan ikut mengejarnya.
Apakah hidup kita baru bernilai apabila kita memenuhi nilai-nilai kesuksesan, kepintaran, kesehatan, dan nilai-nilai lain yang terus disematkan kepada kita? Bagaimana bila kita tidak memiliki atau tidak bisa mendapatkan nilai-nilai tersebut; tidak bernilaikah kita, gagalkah kita?
Alkitab justru mengajarkan kepada kita bahwa sejak kita diciptakan oleh Allah, kita adalah orang yang sudah diberi nilai oleh Allah, dan nilai itu tidak tanggung-tanggung; Kita diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Kita adalah biji bola mata Allah, bahkan begitu bernilainya kita, sehingga Dia rela menyerahkan Anak-Nya mati di atas kayu salib untuk menebus kita dari kuasa dosa dan kematian kekal, melalui itu kita memperoleh hidup yang kekal. Nilai ini tidak bisa dibandingkan hanya dengan nilai angka-angka yang terus kita kejar selama ini. Nilai angka tersebut hanyalah sementara dan berubah-ubah, tetapi nilai yang diberikan oleh Allah dalam hidup kita, adalah kekal dan tetap. Jadi hidup kita di dunia bukan lagi mencari nilai demi mengangkat diri kita sendiri, tetapi hendaklah merefleksikan nilai yang sudah Allah tanamkan dalam hidup kita.
Kiranya Allah menolong kita untuk kembali melihat dan menyerahkan hidup kita kepada Allah Sang Pemberi Nilai Kekal dalam hidup kita serta berani menghidupinya.