Hidup kita sebagai manusia berdosa begitu kontradiktif adanya. Ketika
ada masalah, bencana, penderitaan, kedukaan, kekecewaan, dan sejenisnya
datang menimpa kita, kita persalahkan Tuhan Allah kita. Apalagi bila
dalam keseharian hidup kita, kita merasa bahwa kita sudah hidup sebagai
orang yang baik, saleh, rajin beribadah, dan bahkan rajin pelayanan.
Sangat sulit bagi kita untuk menerima keadaan yang kita anggap tidak
pantas kita terima itu. Kita persalahkan Allah yang selama ini kita
percaya dan kita agung-agungkan ketika kita merasa diberkati. Kita
menuding Allah tidak lagi mengasihi kita, tidak memedulikan kita, tidak
mengerti kita, lebih mengasihi orang lain (yang kita anggap lebih kurang
baik dibanding kita), dan lain-lain. Kita lalu “ngambek” kepada Allah,
marah, dan kesal kepada-Nya. Kita lalu memutuskan untuk tidak lagi mau
berelasi dengan Dia, tidak lagi mau berdoa, dan tidak lagi mau
beribadah. Terlibat pelayanan? Wah buang jauh-jauh! Intinya, kita
sekarang menjadi “alergi” dengan Allah dan gereja-Nya. Kita anggap
dengan kita memutuskan relasi dengan Allah, kita bisa menentukan hidup
kita sendiri sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Kita jelas-jelas
tahu semua yang kita lakukan itu sesungguhnya adalah suatu aksi bunuh
diri. Bagaimana mungkin kita bisa hidup tanpa Allah? Tetapi anehnya kita
anggap kita bisa melakukan hal itu. Bahkan kita puas dan berharap
seolah Allah harus “bertobat” karena telah salah memimpin hidup kita
hingga menjadi seperti ini. Kita memberikan seribu satu alasan mengapa
kita tidak lagi mau berelasi dengan Allah dan kita menganggap
seolah-olah kita yang menjadi penentu atas segala keputusan hidup kita.
Tetapi tahukah kita bahwa ketika kita bisa “mengumpat” Allah, itu pun atas seizin Allah? Jika mau, Allah bisa saja mematikan kita dan tidak lagi memberikan pengampunan. Tetapi kenapa Allah masih membiarkan kita seolah-olah bisa bebas lari dari Dia? Bebas melakukan apa saja yang kita mau? Karena Allah masih mengasihi kita. Ia masih memberikan kita kesempatan untuk bertobat. Bila Allah Bapa tidak menyayangkan anak-Nya yang terkasih untuk mati di atas kayu salib untuk menebus dosa-dosa kita, masakan Dia tidak memedulikan kita? Masakan Dia tidak mengerti keadaan kita? Masakan Dia yang adalah Pencipta dan Pemegang hidup kita tidak tahu bagaimana menuntun dan memelihara hidup kita?
Mari kita kembali kepada Tuhan. Dia tidak pernah salah dalam memimpin kita. Percayalah dan taruhlah seluruh hidup kita di tangan-Nya. Kiranya Tuhan masih berbelas kasihan kepada kita dan memberikan kita waktu serta kesempatan untuk bertobat.
Tetapi tahukah kita bahwa ketika kita bisa “mengumpat” Allah, itu pun atas seizin Allah? Jika mau, Allah bisa saja mematikan kita dan tidak lagi memberikan pengampunan. Tetapi kenapa Allah masih membiarkan kita seolah-olah bisa bebas lari dari Dia? Bebas melakukan apa saja yang kita mau? Karena Allah masih mengasihi kita. Ia masih memberikan kita kesempatan untuk bertobat. Bila Allah Bapa tidak menyayangkan anak-Nya yang terkasih untuk mati di atas kayu salib untuk menebus dosa-dosa kita, masakan Dia tidak memedulikan kita? Masakan Dia tidak mengerti keadaan kita? Masakan Dia yang adalah Pencipta dan Pemegang hidup kita tidak tahu bagaimana menuntun dan memelihara hidup kita?
Mari kita kembali kepada Tuhan. Dia tidak pernah salah dalam memimpin kita. Percayalah dan taruhlah seluruh hidup kita di tangan-Nya. Kiranya Tuhan masih berbelas kasihan kepada kita dan memberikan kita waktu serta kesempatan untuk bertobat.