Bacaan: Ratapan 3:20-23
Bosan dengan isi firman yang itu-itu saja? Cerita Daud melawan Goliat, Daniel di gua singa, Tuhan Yesus mati dan bangkit tidak pernah berubah sejak zaman kita sekolah minggu. Apakah wajar kalau kita bosan? Ataukah itu adalah suatu keberdosaan yang harus kita lawan?
Coba kita analisis bersama argument-argumen yang sering kita hadirkan. Pertama, yaitu menganggap itu sebagai kewajaran. Saat itu, bukankah berarti kita sedang berharap Allah bisa lebih toleran terhadap kita yang sedang not on the right mood terhadap firman Allah. Tetapi tentu kita tahu, bahwa Tuhan kita tidak pernah berubah–Allah kita tidak seperti manusia–termasuk standar-standar-Nya. Ketika Ia menuntut segenap hati, jiwa, akal budi kita, itu juga tidak akan berubah. Jadi, kewajaran? Pasti bukan! Hal ini hanya menunjukkan kita sebagai manusia berdosa yang sudah berubah. Ini adalah suatu keberdosaan yang harus kita lawan. Dosa telah menggeser standar hidup kita, sehingga kita bosan kepada firman. Ini akan menjadi perjuangan kita melawan dosa yang tidak akan pernah berhenti selama kita masih hidup. Kalau mau direnungkan lebih lanjut, apakah sebetulnya yang membuat kita bosan pada Firman? Padahal kita tidak pernah bosan akan nasi, air putih, dan seorang ibu tidak pernah bosan pada anaknya, ya kan?
Perlu kita terus sadari bahwa hubungan kita dengan Tuhan adalah hubungan personal, bukan impersonal. Kalau kita saling mengasihi dengan pasangan kita, akan ada terbina suatu hubungan yang bertumbuh. Dan itulah yang akan membuat hubungan kita dengan pasangan kita bukan hubungan rutinitas belaka yang membosankan, tetapi suatu relasi yang berkembang dan menggairahkan.
Demikian juga kita dengan Tuhan. Kita memang tidak akan pernah bisa mengasihi Tuhan dengan cara yang sama seperti Dia telah mengasihi dunia ini. Kita terus bergumul, terus mengejar ke arah sana. Tetapi dengan menyadari bahwa kita tidak akan mencapai titik kesamaan itu, akan membantu kita untuk tidak stres maupun sombong. Terus dalam kerendahan hati yang menuntut diri untuk tidak longgar, karena yang kita kejar adalah pribadi tertinggi. Titik di mana tuntutan-Nya yang sempurna menyatakan di mana kita seharusnya berada. Itulah sebabnya pertumbuhan rohani kita menuju kedewasaan harus terjadi di dalam mengejar tuntutan Allah.
Kita tetap dituntut untuk terus bertumbuh dan tidak terus menerus berada di mana kita berada saat ini. Dalam setiap situasi hidup kita yang terus berubah dan juga dalam keberadaan diri kita yang terus bertumbuh, firman tidak akan menjadi lawas, firman tidak akan menjadi kuno, maupun membosankan tetapi akan terus baru dan terus dapat menjadi pedoman hidup kita. Sampai pada akhirnya, kita menjadi sadar bahwa firman itu betul adalah firman Allah yang hidup.
Bosan dengan isi firman yang itu-itu saja? Cerita Daud melawan Goliat, Daniel di gua singa, Tuhan Yesus mati dan bangkit tidak pernah berubah sejak zaman kita sekolah minggu. Apakah wajar kalau kita bosan? Ataukah itu adalah suatu keberdosaan yang harus kita lawan?
Coba kita analisis bersama argument-argumen yang sering kita hadirkan. Pertama, yaitu menganggap itu sebagai kewajaran. Saat itu, bukankah berarti kita sedang berharap Allah bisa lebih toleran terhadap kita yang sedang not on the right mood terhadap firman Allah. Tetapi tentu kita tahu, bahwa Tuhan kita tidak pernah berubah–Allah kita tidak seperti manusia–termasuk standar-standar-Nya. Ketika Ia menuntut segenap hati, jiwa, akal budi kita, itu juga tidak akan berubah. Jadi, kewajaran? Pasti bukan! Hal ini hanya menunjukkan kita sebagai manusia berdosa yang sudah berubah. Ini adalah suatu keberdosaan yang harus kita lawan. Dosa telah menggeser standar hidup kita, sehingga kita bosan kepada firman. Ini akan menjadi perjuangan kita melawan dosa yang tidak akan pernah berhenti selama kita masih hidup. Kalau mau direnungkan lebih lanjut, apakah sebetulnya yang membuat kita bosan pada Firman? Padahal kita tidak pernah bosan akan nasi, air putih, dan seorang ibu tidak pernah bosan pada anaknya, ya kan?
Perlu kita terus sadari bahwa hubungan kita dengan Tuhan adalah hubungan personal, bukan impersonal. Kalau kita saling mengasihi dengan pasangan kita, akan ada terbina suatu hubungan yang bertumbuh. Dan itulah yang akan membuat hubungan kita dengan pasangan kita bukan hubungan rutinitas belaka yang membosankan, tetapi suatu relasi yang berkembang dan menggairahkan.
Demikian juga kita dengan Tuhan. Kita memang tidak akan pernah bisa mengasihi Tuhan dengan cara yang sama seperti Dia telah mengasihi dunia ini. Kita terus bergumul, terus mengejar ke arah sana. Tetapi dengan menyadari bahwa kita tidak akan mencapai titik kesamaan itu, akan membantu kita untuk tidak stres maupun sombong. Terus dalam kerendahan hati yang menuntut diri untuk tidak longgar, karena yang kita kejar adalah pribadi tertinggi. Titik di mana tuntutan-Nya yang sempurna menyatakan di mana kita seharusnya berada. Itulah sebabnya pertumbuhan rohani kita menuju kedewasaan harus terjadi di dalam mengejar tuntutan Allah.
Kita tetap dituntut untuk terus bertumbuh dan tidak terus menerus berada di mana kita berada saat ini. Dalam setiap situasi hidup kita yang terus berubah dan juga dalam keberadaan diri kita yang terus bertumbuh, firman tidak akan menjadi lawas, firman tidak akan menjadi kuno, maupun membosankan tetapi akan terus baru dan terus dapat menjadi pedoman hidup kita. Sampai pada akhirnya, kita menjadi sadar bahwa firman itu betul adalah firman Allah yang hidup.