Abad ke-21 menjadi abad di mana manusia mengejar aktualisasi diri. Oleh
sebab itu, tidak heran jika “ledakan” media sosial terjadi di
mana-mana. Mulai dari facebook, twitter, instagram sampai demam tongsis
yang dipakai sebagai alat untuk menyatakan, “hey, aku ada di sini dan
lagi begini” kepada orang lain. Bahkan tidak sedikit yang berlomba-lomba
agar fotonya di-like oleh banyak orang. Yang lebih parah lagi ada yang
sampai rela mem-posting hal-hal yang kontroversial supaya menjadi
terkenal: sebut saja fenomena awkarin yang sempat heboh. Semua ini
dilakukan hanya untuk menyatakan bahwa saya ada dan saya ingin dikenal.
Namun, jika kita merenungkan lebih dalam lagi, justru semangat
aktualisasi diri ini hanya akan melenyapkan eksistensi diri sendiri.
Bayangkan jika SEMUA orang hanya menuntut orang lain untuk mengakui diri
si “aku”, maka diri mereka justru tidak akan menjadi siapa-siapa
karena, toh, tidak ada yang peduli dengan “mereka”. Yang ada hanya
masing-masing sibuk dengan diri mereka sendiri. Di sinilah kita
mengetahui bahwa semangat meninggikan diri sendiri adalah semangat yang
salah dan ketidakbenaran ini jika diterapkan secara konsisten dalam
hidup, pasti akan menghancurkan hidup itu sendiri.
Lalu yang benar seharusnya seperti apa? Alkitab mengajarkan kepada kita
bahwa semangat yang memberi kehidupan adalah semangat yang mengorbankan
diri sendiri untuk membangun orang lain.
“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke
dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia
akan menghasilkan banyak buah.” – Yoh. 12:24
Inilah yang Kristus lakukan: Dia rela mengorbankan diri sepenuhnya agar
manusia berdosa seperti kita dapat hidup kembali. Kebenaran sejati yang
memberi kehidupan adalah ketika kita rela memberikan diri kita untuk
orang lain. Mengapa kita dapat menjadi seorang Kristen sekarang?
Bukankah itu karena ada orang yang rela meninggalkan kenyamanan dirinya
sendiri untuk datang menginjili kita ataupun orang-orang tua kita?
Mengapa kita bisa menjadi orang Kristen yang bertumbuh kerohaniannya?
Bukankah itu karena ada pendeta atau pembimbing kita yang rela
mengorbankan tenaga dan waktu untuk menggembalakan dan mendidik kita?
Mengapa kita boleh beribadah kepada Tuhan? Bukankah itu karena Kristus
yang rela meninggalkan takhta mulia, datang menjemput kita kembali
kepada Bapa?
Sudah terlalu banyak orang dan bahkan Tuhan sendiri telah rela
mengorbankan diri, sehingga kita bisa ada sebagaimana kita ada sekarang.
Masa iya selama ini kita hanya sibuk dengan diri kita sendiri?
Seolah-olah kita yang paling layak dan harus terus mendapat perhatian?
Spirit inkarnasi tentu sangat bertolak belakang dengan spirit zaman ini.
Alkitab mengatakan bahwa sebagai anggota tubuh Kristus, kita dipanggil
untuk membangun kesatuan tubuh Kristus, yaitu Gereja, di dalam kasih
(Ef. 4:12, 16). Namun, bagaimana mungkin kita dapat membangun tubuh
Kristus jika kita masih mengikuti semangat zaman ini? Selama kita hanya
masih menuntut orang lain untuk melayani kita, kita tidak akan ke
mana-mana! Biji gandum itu hanya tetap akan menjadi satu biji. Hanya
dengan kerelaan untuk menyerahkan diri kita bagi pekerjaan Tuhan di
zaman ini, barulah tubuh Kristus dapat dibangun dan biji tersebut
berbuah banyak. Buah inilah yang kemudian akan menjadi persembahan yang
harum dan menyenangkan hati Tuhan. Maukah kita dengan rendah hati
belajar dari Tuhan, yang sebelum menuntut kita, sudah terlebih dahulu
memberikan diri-Nya untuk kita?
- Home
- No Label
- AKU,DIRIKU,DAN MEREKA