Devotion from Kisah Rasul 5:1-11
Bacaan hari ini melaporkan tentang hukuman pertama yang Tuhan berikan kepada anggota gereja-Nya. Tuhan memberikan hukuman demikian tegas untuk menyatakan kesucian-Nya yang tidak boleh dikompromikan. Tuhan menghukum Nadab dan Abihu di awal pemanggilan-Nya atas Israel. Tuhan menghukum Akhan pada awal periode Yosua masuk ke Kanaan. Tuhan menghukum Uza pada awal periode kerajaan Daud. Tuhan juga menghukum Ananias dan Safira pada awal pemanggilan gereja-Nya. Setiap penghukuman yang Tuhan berikan menjadi contoh bagaimana Tuhan memandang tinggi kekudusan-Nya. Tidak seorang pun boleh mempermainkan Allah dan Allah sangat disakiti dengan setiap pelanggaran manusia. Kita tidak boleh berpikir tentang Allah seperti pemikiran Aristoteles yang menganggap bahwa Allah tidak mungkin dipengaruhi oleh apa pun di luar diri-Nya sendiri. Memang benar Allah telah menetapkan seluruh rancangan-Nya dengan sempurna dan bahwa tidak ada apa pun yang terjadi di luar rancangan-Nya yang agung itu. Bahkan rancangan hidup kita pun terarah kepada apa yang Tuhan tetapkan (Ams. 16:9). Tetapi cara memahami Allah yang merancangkan segala sesuatu secara mekanik adalah cara yang sangat berdosa kepada Allah. Dia bukanlah penggerak segala sesuatu secara mekanis. Dia adalah Allah, Pribadi teragung yang oleh-Nya semua pribadi yang lain diciptakan. Dia tidak mungkin menjalankan ketetapan-Nya secara mekanis, dingin, dan tidak berperasaan. Allah menjalankan rencana kekal-Nya di dalam sejarah dengan keterlibatan yang total. Dia menjalankan rancangan-Nya dengan segenap sifat-Nya, kemuliaan-Nya, emosi-Nya, afeksi-Nya, dan seluruh keberadaan diri-Nya terlibat penuh. Allah yang berdaulat tidak berarti Allah yang tidak bisa memiliki afeksi, emosi, dan keinginan. Ini gambaran yang sangat rusak. Allah yang sejati adalah Allah yang penuh dengan kasih, afeksi, tetapi juga Allah yang murka dan menyatakannya dengan sungguh-sungguh. Mengapa begitu berat bagi manusia untuk menerima fakta bahwa Allah bisa murka? Karena kita yang sudah jatuh ke dalam dosa memang senang mengatur Allah dalam segala sesuatu. Kita bisa protes menentang sifat-sifat yang dimiliki Allah. Bukannya takut dan gentar, kita malah menjadikan murka Allah alasan untuk tidak percaya kepada Dia. Ini bodoh sekali. Jika engkau tidak suka panasnya api, engkau tidak akan membuat api berhenti jadi panas karena engkau menolak adanya api. Engkau tidak percaya ada api, faktanya tetap ada api. Engkau tidak setuju api itu panas, faktanya api tetap saja panas. Penolakan kita tidak berarti apa-apa terhadap fakta. Tetapi kita merasa diri setara dengan Allah. Allah berkata-kata, maka segala sesuatu jadi. Kita merasa sanggup melakukan itu juga. Kita pun berkata-kata, tetapi sayangnya tidak ada yang jadi menurut kehendak kita. Engkau tidak setuju Allah murka? Faktanya adalah Dia murka dan Dia berhak untuk murka. Engkau tidak setuju Allah menghukum? Faktanya adalah Dia menghukum dan Dia berhak untuk menghukum. Sehingga, daripada terus membunyikan ketidaksetujuan terhadap fakta tentang Allah, lebih baik kita mulai belajar perasaan takut akan Tuhan di dalam diri kita. Takut akan Tuhan berarti tidak mau mencemari kesucian Tuhan. Tetapi orang berdosa itu selalu tidak rasional, mendengar fakta bahwa Tuhan menghukum malah membuat kita protes kepada Dia. Tuhan menghukum, bukankah reaksi kita seharusnya takut dan gentar? Jika kita mendengar auman singa, apakah kita lari menghindar dengan perasaan takut, atau datang dan protes karena singa mengaum mengganggu telinga kita?
Ananias dan Safira sudah mendengar firman, tetapi tetap mengabaikannya. Ananias dan Safira sudah mendengar tentang Injil, tetapi tetap tidak percaya. Ananias dan Safira mendengarkan terus seruan bertobat, tetapi tetap mereka hidup di dalam keadaan palsu dan penuh kemunafikan. Mengapa harus hidup dengan kepalsuan seperti itu? Karena mereka menantikan hormat dari manusia lebih daripada hormat dari Tuhan. Mereka menjual tanah mereka bukan karena kerelaan. Mereka tidak didorong oleh kasih kepada sesama, tetapi mereka tidak mau tertinggal di dalam menjadi “saleh” di tengah-tengah umat Tuhan. Mereka ingin mendapatkan penghormatan. Jika lingkungan mereka menghargai uang, maka mereka ingin memperoleh uang untuk dihormati lingkungan. Jika lingkungan mereka adalah lingkungan yang senang menolong satu sama lain, maka satu-satunya cara untuk menjadi penting di lingkungan itu adalah dengan menolong satu sama lain. Apakah Ananias dan Safira menolong dengan rela? Tidak. Mereka hanya ingin dihargai. Bagaimana kita bisa tahu kalau mereka ingin dihargai? Karena mereka mempersembahkan hasil jual tanah mereka hanya separuh saja tetapi mengaku bahwa mereka mempersembahkan hasil jual tanah seluruhnya. Apakah ada kewajiban untuk mempersembahkan semua hasil penjualan? Tidak. Ayat 4 bahkan mengindikasikan bahwa Ananias tidak wajib menjual tanahnya. Kalaupun dia menjual, dia tidak wajib persembahkan hasilnya. Kalaupun persembahkan, dia tidak wajib berikan semua. Lalu mengapa harus mengaku mempersembahkan semua? Karena tidak ingin kalah dari Barnabas (ay. 36-37). Tuhan marah kepada Ananias dan Safira sehingga keduanya dihukum dengan dimatikan oleh Tuhan. Mengapa demikian keras? Bukankah pelanggaran mereka kecil? Tidak. Tidak kecil. Pelanggaran mereka sangat berat karena mereka mencari dihormati manusia, dan pada saat yang sama memalingkan wajah dari Tuhan. Takut akan Allah tidak mungkin ada pada orang yang sibuk mencari pengakuan dari sesama dengan mengabaikan hormat kepada Allah.
Untuk direnungkan:
Alkitab memperkenalkan kita kepada Allah yang tidak bisa dipermainkan. Allah kita adalah Allah yang menuntut kesucian. Dia tidak berkenan kepada segala jenis kecemaran. Terkadang Dia menghukum, terkadang Dia menyatakan anugerah dan menahan penghukuman-Nya. Yang mana pun yang Dia lakukan, semua seharusnya mendidik kita untuk makin takut akan Tuhan. Jika manusia takut akan Tuhan, maka hidup manusia akan dipenuhi dengan damai sejati. Mengapa demikian? Karena setiap kejahatan, setiap dosa, dan setiap pelanggaran dilakukan karena manusia menyembah illah yang palsu atau mengabaikan Allah yang sejati. Setiap dosa terjadi karena tidak ada perasaan takut akan Allah. Kapankah keadaan damai sejati bisa terpenuhi dengan sempurna? Hanya kalau semua manusia mempunyai perasaan takut akan Tuhan. Sudahkah itu terjadi sekarang? Tentu saja belum. Tetapi gereja Tuhan seharusnya menjadi sekelompok orang yang berusaha mengejar cara hidup yang mencerminkan untuk sementara keadaan damai sejahtera yang sempurna itu.Gereja tidak bebas dari orang-orang yang jahat dan pura-pura. Gereja akan dinyatakan pada saat kedatangan Kristus nanti, tetapi saat ini gereja tetap terdiri dari lalang dan gandum (Mat. 13:24-30, 36-43). Kadang Tuhan memberikan penghakiman dengan segera, kadang Dia membiarkan dulu orang-orang jahat tidak boleh disentuh oleh siapa pun (Kej. 4:13-15). Tetapi yang mana pun juga keputusan-Nya, semua hal ini dilakukan oleh Tuhan untuk menyatakan kemuliaan nama-Nya. Jika Tuhan langsung menghukum dengan fatal, ataupun jika Dia memutuskan untuk menunda hukuman-Nya, semua dimaksudkan agar manusia memahami bahwa Allah adalah Allah yang kudus.Mencari pujian manusia adalah hal yang kosong dan hampa. Inilah yang membuat orang berani berbuat dosa asal tetap terlihat baik di depan manusia. Mau korupsi? Silakan asal tidak ketahuan. Mau berdusta? Silakan asal tidak ketahuan. Ananias dan Safira berani menipu Tuhan karena mereka mau diakui dan dikagumi manusia. Tetapi pada akhirnya Tuhanlah yang menjadi hakim atas segala sesuatu. Jika Tuhan yang menghakimi segala sesuatu, bukankah kita seharusnya mempunyai perasaan takut kepada-Nya? Biarlah kita selalu mengingatkan diri kita semua bahwa ada Tuhan yang melihat dan menghakimi setiap tindakan kita.