Juru selamat tanpa daerah

Devotion from Yohanes 4:39-45

Di dalam ayat 40 dan 41 dikatakan bahwa lebih banyak orang Samaria yang percaya kepada Yesus karena Dia tinggal bersama dengan mereka selama dua hari. Mereka percaya karena sudah bertemu sendiri dengan Yesus dan mendengarkan sendiri dari Dia. Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus (Rm. 10:17). Perempuan yang bertemu Yesus di dekat sumur itu telah menjadi saksi untuk membawa orang kepada Kristus, tetapi Kristus yang berdiam bersama-sama dengan merekalah yang membuat mereka percaya kepada Dia. Firman-Nya dan kehidupan-Nya yang penuh kuasa, kebenaran, dan kasih karunia, membuat orang-orang Samaria ini berbalik dan percaya kepada Dia. Pertobatan yang sejati harus terjadi karena ada relasi dengan Kristus. Mengenal Dia melalui apa yang Dia katakan, dan mengasihi Dia oleh karena firman-Nya. Pertobatan bukanlah sesuatu yang hanya berkait dengan moralitas saja. Pertobatan berarti mengubah arah hati. Pertobatan berarti berhenti memberikan kasih kepada kecemaran dan dosa dan mulai memberikan kasih kepada Dia yang seharusnya menerima kasih kita. Itulah sebabnya ayat 40 dan 41 mengatakan bahwa Yesus yang berdiam bersama dengan mereka membuat lebih banyak lagi orang yang percaya kepada-Nya.

Sama seperti murid-murid pertama ingin tinggal dan berdiam bersama-sama dengan Yesus, demikian juga orang-orang Samaria ini ingin Yesus berdiam bersama-sama dengan mereka (ayat 40). Orang-orang Samaria yang percaya tentu memerlukan Yesus untuk terus berdiam bersama dengan mereka hingga mereka semakin kuat dan bertumbuh di dalam iman dan agama mereka. Tetapi Yesus hanya tinggal bersama dengan mereka selama dua hari. Ayat 43 mengatakan bahwa Yesus melanjutkan perjalanan-Nya setelah berdiam dua hari bersama dengan orang-orang Samaria. Yesus melanjutkan perjalanan-Nya ke Galilea sesuai dengan rencana mula-mula, yaitu pergi ke Galilea karena ditolak di Yudea (Yoh. 4:1-3). Maka di ayat 44 dikatakan bahwa seorang nabi tidak dihormati di negerinya sendiri. Sama seperti nabi yang tidak dihormati di daerahnya sendiri, demikian Yesus tidak dihormati di Yudea. Dia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi milik kepunyaan-Nya itu menolak Dia (Yoh. 1:11). Tetapi siapa pun yang menerima Dia akan diberikan kuasa untuk menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1:12). Orang-orang Yudea menolak Dia, tetapi orang-orang Samaria percaya kepada Dia. Yang seharusnya menjadi anak akhirnya terbuang karena penolakan mereka terhadap Yesus, tetapi yang tadinya terbuang menjadi anak karena percaya kepada Yesus.

Tidak ada hal yang lebih menakutkan daripada menjadi orang-orang yang ditolak Tuhan. Tetapi yang ironis dalam bagian ini adalah orang-orang yang dianggap umat oleh Tuhan, justru menolak Tuhan. Orang-orang seperti ini telah mendapatkan keistimewaan dari Tuhan. Mereka mendapatkan firman, teguran, dan didikan Tuhan melalui para nabi, dan perjanjian, tetapi mereka mengabaikan semuanya itu. Mereka tidak peduli Tuhan. Mereka hanya melihat perjanjian mereka, status mereka, dan kebanggaan mereka di dalam status sebagai umat Tuhan. Tetapi Tuhan menginginkan umat-Nya disebut sebagai anak. Orang-orang Yudea tidak mau menjadi anak. Mereka menolak Sang Anak Tunggal Allah, dan karena itu mereka menjadi kelompok yang Tuhan tolak. Mereka tidak mau mengenal Allah dan Anak-Nya, mereka hanya ingin membanggakan status yang mereka miliki sebagai umat.

Tetapi tidak demikian dengan orang-orang Samaria. Mereka tidak peduli kalau status mereka dalam pandangan orang Yahudi adalah orang-orang pinggiran yang kafir. Mereka ingin mengenal Tuhan. Mereka ingin kenal Sang Anak dan mengundang Dia untuk tinggal bersama-sama dengan mereka. Tuhan ditolak di Yudea, tetapi diterima di Samaria. Tetapi Tuhan justru menyatakan bahwa tempat yang menolak tidak menikmati kesempatan boleh mengenal Yesus. Mereka tidak mendapatkan kesempatan ini, tetapi mereka juga tidak mencari kesempatan ini. Tuhan tidak berikan dan mereka pun tidak inginkan. Mereka tidak tahu bahwa mereka telah mengalami kerugian sangat besar karena tidak menerima Yesus. Betapa menakutkan jika Tuhan sudah tidak lagi hadir, tetapi umat-Nya tidak merasakan hal itu. Betapa mengerikan kalau ada gereja yang telah ditinggalkan oleh Tuhan, tetapi gereja tidak merasa ada kerugian apa pun. Asal keuangan cukup, ada gedung, ada kegiatan rutin, itu sudah cukup, ada Tuhan atau tidak ada Tuhan itu tidak penting. Betapa celakanya gereja yang seperti ini! Orang-orang Yudea tidak merasa rugi kalau Yesus tidak ada bersama dengan mereka. Asal ada Bait Allah, asal ada pemasukan persembahan, asal ada imam, asal ada ibadah rutin, itu sudah cukup. Ada Yesus atau tidak ada Yesus itu tidak penting. Betapa celakanya! Ini tanda bahwa mereka telah hidup sebagai orang-orang dunia yang tidak menginginkan Tuhan.

Manusia berdosa yang bodoh memang bisa hidup senang dengan tipuan dari dunia ini. Tipuan yang mengatakan bahwa kehadiran Tuhan adalah aspek tidak penting yang boleh ada dan tidak. Kalaupun ada itu, akan sedikit menolong. Tuhan bisa memberi sedikit ketenangan, bahkan kadang-kadang Dia bisa sedikit menolong kita dalam masalah kita, kehadiran Tuhan bisa digantikan – boleh ada boleh tidak, tetapi uang harus ada, rumah harus ada, kendaraan harus ada, kemewahan harus ada. Inilah tipuan dunia yang membuat kita terus menerus hidup di dalam kekosongan dan tanpa arah. Tidak sadarkah manusia kalau hanya Tuhan yang dapat memberikan kepenuhan? Tetapi kepenuhan itu tidak akan terjadi jika kita menganggap kehadiran-Nya boleh diabaikan. Bisakah kampung yang tinggal di atas sebuah gunung berapi mengabaikan letusan gunung berapi itu? Bisakah kampung yang ada di pesisir pantai mengabaikan tsunami yang menyapu seluruh daerah itu? Tetapi kita selalu menganggap Tuhan seperti angin kecil yang nyaris tidak terasa. Bisa dirasakan tetapi juga bisa diabaikan. Bagaimana mungkin Tuhan diabaikan? Sadarkah kita kalau seluruh alam semesta terjadi karena perkataan-Nya? Sadarkah kita bahwa nasib langit dan bumi ada di tangan-Nya? Sadarkah kita kalau keputusan-Nya menggoncangkan kerajaan-kerajaan, bukan hanya di dunia ini, tetapi juga kerajaan setan dan kerajaan maut? Tidak. Kita tidak sadar! Kalau kita sadar, bagaimana mungkin kita berani mengabaikan Dia? Kita ingin bukti mengenai kesabaran Tuhan? Masih berdirinya bumi dan masih berjalannya peradaban manusia adalah bukti kesabaran-Nya. Manusia yang hanya bisa membangkitkan sakit hati-Nya masih terus dipelihara-Nya hingga saat ini. Genggaman tangan Allah yang dapat meremukkan seluruh bumi ini masih dipakai-Nya untuk menopang bumi. Tidak sadarkah kita kalau kedahsyatan Allah adalah sesuatu yang sangat menakutkan, tetapi juga sesuatu yang sangat menghiburkan? Mengapa menghiburkan? Karena kuasa yang sangat besar itu ingin dipakai-Nya untuk menyatakan kemuliaan-Nya dalam menjadikan kita anak-anak-Nya. Tuhan berkuasa memanggil, menebus, mengubah, dan memelihara iman anak-anak-Nya dengan kuasa dan kekuatan yang mahadahsyat itu. Betapa menakjubkannya jika Tuhan ternyata menjadi Juru Selamat dan Bapa kita? Inilah yang dinikmati oleh orang-orang Samaria di Sikhar. Mereka ingin Yesus. Mereka bukan ingin nama, kedudukan, status sebagai umat… mereka ingin Yesus. Mereka ingin kenal Dia, berbicara dengan Dia, mendengarkan Dia berbicara, hidup bersama-sama dengan Dia. Tidak satu pun orang Samaria yang bertobat karena mukjizat. Mereka bertobat karena mendengar Yesus berfirman. Berbeda dengan Galilea yang menerima Yesus karena mukjizat (ay. 45), dan tentu saja berbeda dengan Yudea yang menolak Yesus. Orang-orang Samaria ini ingin mengenal kasih Yesus dan ingin mengasihi Dia.

Kiranya Tuhan memberikan anugerah-Nya kepada kita sehingga kita menikmati Tuhan seperti orang-orang Samaria menikmati Tuhan. Mereka tidak ingin memanfaatkan Tuhan. Mereka tidak ingin minta pertunjukan mukjizat. Mereka ingin Yesus bukan karena Dia mengubah air jadi anggur dan melakukan banyak mukjizat lainnya. Mereka ingin mendengarkan Dia berbicara dan berdiam bersama-sama dengan Dia. Adakah ini juga menjadi keinginan kita? Mendengarkan Dia berbicara dan tinggal bersama-sama dengan Dia?