Devotion from Roma 14:7-9
Tidak ada seorang pun yang mati untuk dirinya sendiri.
Lalu apakah lagi yang dapat membuat kita merasa dapat memegang kendali atas hidup kita? Kekuatan militer? Kekuatan senjata? Seperti apa pun kekuatan yang dimiliki seseorang ada satu fakta yang membuat seseorang menyadari bahwa dia tidak memegang kendali atas hidupnya, yaitu kematian. Kematian menjadi peringatan bagi setiap jiwa yang masih memiliki nafas di dunia ini. Kematian menjadi suatu pernyataan dari Tuhan bahwa manusia fana yang memberontak kepada Dia telah dijatuhi hukuman mati. Kematian menjadi tanda bahwa manusia tidak pernah memegang kendali atas hidup. Seorang yang pernah merasa dia memegang kendali adalah sang panglima perang Alexander Agung. Bayangkan betapa hebatnya orang ini sehingga disebut Agung. Banyak orang bernama Agung tetapi tidak seagung Alexander. Banyak juga yang bernama Alexander tetapi kurang agung. Tetapi yang satu ini adalah Alexander Agung. Dia menjelajahi dan menaklukkan kerajaan-kerajaan begitu banyak. Mulai dari kota-kota kerajaan di Yunani, Persia, Siria, Israel, Gaza, Mesir, Mesopotamia, hingga perbatasan India. Dan semua ini dilakukannya dalam usia hidup yang sangat muda. Alexander meninggal pada usia 32 tahun. Seorang panglima perang dari Carthage, Hannibal, mengatakan bahwa Alexander adalah panglima perang paling hebat sepanjang sejarah. Tetapi ternyata sang panglima perang terhebat sepanjang sejarah ini harus mati karena terkena demam. Alangkah tragisnya sang penakluk ini... Sekuat apa pun kemampuan seseorang untuk berperang, tetap saja pada akhirnya semua akan mati. Siapakah yang dapat menolak kematian? Saya pernah melihat mengenai seorang pemain sepak bola yang meninggal tiba-tiba di lapangan. Kelihatan begitu sehat dan baik-baik saja. Tiba-tiba jatuh dan mati. Begitu saja. Ternyata dia terkena serangan jantung. Apakah kita dapat menguasai hidup kita? Apakah kita mampu tentukan segalanya sendiri? Saat kita menipu diri dengan mencari segala macam hal untuk menyatakan bahwa hidup kita sudah aman terkendali, fakta kematian membuyarkan itu semua. Tidak seorang pun yang dapat menolak atau memberikan inisiatif untuk hidup. Tidak seorang juga dapat menolak kematian. Apakah kematian itu? Kematian adalah sesuatu yang Tuhan nyatakan sebagai pengingat bagi kita semua bahwa kita tidak dapat mengendalikan hidup kita. Karena itu ketika firman Tuhan mengatakan tidak seorang pun hidup untuk dirinya sendiri dan tidak seorang pun mati untuk dirinya sendiri, firman Tuhan menyatakan alasan kedua mengapa kita tidak memiliki hidup kita sendiri.
Lalu apakah lagi yang dapat membuat kita merasa dapat memegang kendali atas hidup kita? Kekuatan militer? Kekuatan senjata? Seperti apa pun kekuatan yang dimiliki seseorang ada satu fakta yang membuat seseorang menyadari bahwa dia tidak memegang kendali atas hidupnya, yaitu kematian. Kematian menjadi peringatan bagi setiap jiwa yang masih memiliki nafas di dunia ini. Kematian menjadi suatu pernyataan dari Tuhan bahwa manusia fana yang memberontak kepada Dia telah dijatuhi hukuman mati. Kematian menjadi tanda bahwa manusia tidak pernah memegang kendali atas hidup. Seorang yang pernah merasa dia memegang kendali adalah sang panglima perang Alexander Agung. Bayangkan betapa hebatnya orang ini sehingga disebut Agung. Banyak orang bernama Agung tetapi tidak seagung Alexander. Banyak juga yang bernama Alexander tetapi kurang agung. Tetapi yang satu ini adalah Alexander Agung. Dia menjelajahi dan menaklukkan kerajaan-kerajaan begitu banyak. Mulai dari kota-kota kerajaan di Yunani, Persia, Siria, Israel, Gaza, Mesir, Mesopotamia, hingga perbatasan India. Dan semua ini dilakukannya dalam usia hidup yang sangat muda. Alexander meninggal pada usia 32 tahun. Seorang panglima perang dari Carthage, Hannibal, mengatakan bahwa Alexander adalah panglima perang paling hebat sepanjang sejarah. Tetapi ternyata sang panglima perang terhebat sepanjang sejarah ini harus mati karena terkena demam. Alangkah tragisnya sang penakluk ini... Sekuat apa pun kemampuan seseorang untuk berperang, tetap saja pada akhirnya semua akan mati. Siapakah yang dapat menolak kematian? Saya pernah melihat mengenai seorang pemain sepak bola yang meninggal tiba-tiba di lapangan. Kelihatan begitu sehat dan baik-baik saja. Tiba-tiba jatuh dan mati. Begitu saja. Ternyata dia terkena serangan jantung. Apakah kita dapat menguasai hidup kita? Apakah kita mampu tentukan segalanya sendiri? Saat kita menipu diri dengan mencari segala macam hal untuk menyatakan bahwa hidup kita sudah aman terkendali, fakta kematian membuyarkan itu semua. Tidak seorang pun yang dapat menolak atau memberikan inisiatif untuk hidup. Tidak seorang juga dapat menolak kematian. Apakah kematian itu? Kematian adalah sesuatu yang Tuhan nyatakan sebagai pengingat bagi kita semua bahwa kita tidak dapat mengendalikan hidup kita. Karena itu ketika firman Tuhan mengatakan tidak seorang pun hidup untuk dirinya sendiri dan tidak seorang pun mati untuk dirinya sendiri, firman Tuhan menyatakan alasan kedua mengapa kita tidak memiliki hidup kita sendiri.
Pada zaman pencerahan manusia begitu kagum dengan penemuan-penemuan dan penggalian yang dilakukan oleh rasio manusia. Periode ini memuncak pada zaman Hegel. Hegel memberikan suatu sistem pemikiran yang memuncak pada kebebasan. Sebelum kebebasan itu dengan sempurna terjadi, manusia memerlukan alat yang bernama negara. Maka negara menjadi tujuan yang sangat penting sebelum kebebasan sempurna itu terjadi. Tetapi seorang bernama Kierkegaard menentang Hegel. Bagi Kierkegaard, Hegel berusaha membuat suatu peta dunia padahal yang dibutuhkan seseorang adalah peta dari rumahnya ke rumah orang-orang yang dikenal. Bagaimana cari jalan di suatu bagian kecil dari sebuah kota dengan peta dunia? Hegel menghilangkan individu demi konsep sosialnya. Maka mulai dari Kierkegaard aliran filsafat baru yang bernama eksistensialisme muncul. Pembahasan mengenai individu, pertanyaan-pertanyaan diri, dan kegalauan yang ada dalam diri seorang individu manusia yang menjadi fokus. Tetapi pemikiran ini juga menjadi salah arah dengan memutlakkan pergumulan hanya seputar pertanyaan pribadi. Pdt. Jadi S. Lima dalam sebuah sesi NRETC pernah mengatakan bahwa permasalahan kita hanyalah satu di antara miliaran permasalahan yang ada di dunia ini. Karena itu memaksakan seluruh dunia untuk mendengar dan memberikan fokus kepada masalah saya adalah hal yang tidak logis. Hegel menghilangkan makna individu dengan menenggelamkannya di dalam konsep negaranya. Kierkegaard berusaha memunculkan pentingnya pergumulan individu dalam konteks pembahasan filosofis. Tetapi ini pun tidak memberikan nilai yang sesungguhnya kepada manusia. Fokus kepada masyarakat membuat nilai manusia tenggelam dan menjadi tidak berarti. Fokus kepada diri membuat masyarakat menjadi tidak penting dan tidak berarti dan hanya berarti sejauh permasalahan sosial itu terkait dengan pergumulan pribadi saya. Charles Spurgeon mengatakan bahwa ketika seseorang berkhotbah dia harus menjangkau semua orang, mulai dari kaum intelektual maupun seorang janda dengan tujuh anak dan segala permasalahan yang membelit dia. Tetapi kadang-kadang kita pergi ke gereja dengan harapan permasalahan saya dibahas. Kita tidak ingat bahwa kita beribadah sebagai suatu komunitas orang-orang suci yang mau menyembah Tuhan. Masalah saya tidak harus menjadi fokus pembahasan. Arah dari pekerjaan Tuhan bagi gereja harus menjadi yang lebih penting.
Namun arah dari eksistensialisme akhirnya berada pada satu orang Jerman bernama Heidegger. Heidegger mengatakan bahwa ketika kita memberikan fokus kepada keberadaan kita, kita hanyalah ada yang terlempar di dalam dunia tanpa mampu mengontrol hidup kita. Kemudian kita juga hanyalah ada yang menuju kepada kematian. Tragis sekali... pengharapan modern yang muluk-muluk mengajarkan adanya kerajaan damai yang, ironisnya, lupa memberikan tempat pada pembahasan permasalahan pribadi demi pribadi yang ada dalam kerajaan itu. Tetapi pembahasan yang berfokus kepada eksistensi manusia ternyata menuju kepada satu kesimpulan, yaitu kita ada untuk mati. Alangkah malangnya manusia itu... Mulai dari lahir kemudian bertumbuh besar hanyalah merupakan serangkaian kejadian-kejadian yang tidak terhindarkan di mana kita hanya terlempar dari satu lingkaran nasib ke lingkaran nasib yang lain tanpa bisa apa-apa. Terlempar di dalam dunia ini. Lalu tujuan yang pasti juga sangat pesimistik, yaitu kematian. Untuk apa hidup? Untuk mati. Apa nilai hidup? Terlempar ke sana dan ke sini. Inilah kesimpulan perenungan kaum eksistensialis. Kita mau ikut yang mana? Modernisme yang meniadakan pergumulan individu? Atau eksistensialis yang memberikan fokus kepada pergumulan individu tetapi berujung kepada pesimisme yang sangat parah ini?
Bagaimana? Apakah tidak ada cara ketiga? Ada. Dan inilah cara yang ditawarkan oleh Paulus. Caranya adalah dengan hidup bagi Tuhan dan mati bagi Tuhan. Segala yang kita lakukan adalah bagi Tuhan. Secara komunal kita menyangkal diri kita dan melebur di dalam kesatuan umat Tuhan yang mendengar firman dan melaksanakan apa yang Tuhan mau. Secara individu kita menggumulkan untuk mempersembahkan hidup hanya bagi Tuhan. Kita tidak terlempar di dunia ini, tetapi kita dibimbing dan dipimpin oleh Roh Tuhan dalam menjalani hidup. Apakah bedanya terlempar di dunia model Heidegger dengan dipimpin oleh Roh? Bedanya adalah kita tahu bahwa Roh Kudus adalah Allah yang berkuasa menjaga dan menopang kita sehingga kita akan dibimbing untuk keluar dari hidup yang sia-sia dan tanpa arah. Kita menjadi orang-orang yang jelas untuk apa hidup ini dijalankan. Kemudian kita juga tidak hanya sekadar menanti saat kematian. Justru kematian adalah saat di mana Tuhan mengatakan, “cukup sudah jerih payahmu di dunia ini. Sekarang telah tersedia bagimu mahkota.” Menuju kepada akhir perjuangan di dunia dan awal sukacita bersama Tuhan di sorga. Inilah tujuan hidup kita. Tetapi cara yang dituntut Allah bukanlah cara dunia. Allah mengatakan melalui Paulus bahwa untuk menggenapi nilai hidup yang sesungguhnya adalah ketika kita menjalani hidup bukan untuk diri. No longer I, but Christ. Bukan lagi saya, melainkan Tuhanku. Bukan lagi apa yang saya mau, melainkan apa yang Tuhan mau. Bukan lagi kesenanganku, tetapi kesenangan Tuhan. Dengan hidup bagi Tuhan inilah nilai manusia mencapai kepenuhannya. Kita tidak mungkin menghindarkan diri dari kesia-siaan hidup. Hanya bila kita kembali mempersembahkan hidup kepada Tuhan barulah kita memiliki hidup yang bernilai. Paulus menulis bagian ini dengan suatu seruan yang berbeda dengan seruan dunia ini. Bukan mengambil, tetapi melepaskan hidup. Bukan meraih, tetapi menyerahkan hidup. Ketika seseorang mengambil dan meraih segala yang diinginkan dirinya sendiri di dalam hidup ini, sebenarnya dia sedang melepaskan hidup yang bernilai dan masuk ke dalam kesia-siaan. Tetapi jika seseorang melepaskan dan menyerahkan hidup kepada yang berhak, yaitu Tuhan kita, Yesus Kristus, justru inilah nilai hidup sejati bagi manusia. Langkah demi langkah menjadi bermakna. Meskipun kita tidak tahu akan ke manakah selanjutnya hidup kita, namun kita tahu bahwa Tuhan yang pegang. Mengapa Tuhan yang pegang? Karena kita sudah menyerahkan seluruhnya hanya bagi Tuhan.