Devotion from 1 Samuel 4:1-5:12
Bacaan kita hari ini mengisahkan tentang pertempuran Israel dengan Filistin. Filistin membunuh 4.000 orang Israel, dan karena itu orang Israel merasa perlu membawa tabut perjanjian. Mereka berpikir dengan adanya tabut di tengah-tengah mereka, maka kemenangan pasti akan mereka dapatkan. Tetapi ini adalah pemikiran yang salah total. Yang mereka perlukan adalah kehadiran Tuhan. Dan Tuhan sudah tidak mau lagi menyertai mereka karena kecemaran mereka. Yang perlu mereka lakukan bukan membawa tabut, tetapi bertobat dari kejahatan mereka. Itu sebabnya kedatangan tabut pun tidak mengubah apa-apa. Pertempuran berikutnya memastikan kemenangan Filistin dengan matinya 30.000 tentara Israel dan anak-anak Eli, dan menyebabkan tabut perjanjian dirampas oleh orang Filistin. Bahkan tabut Tuhan pun tidak bisa menolong mereka! Eli begitu terkejut karena tabut Allah dirampas. Dia jatuh kemudian mati karena lehernya patah (1Sam. 4:18). Istri Pinehas, anak Eli, bahkan menamai anaknya Ikabod (1Sam. 4:21) yang artinya “di manakah kemuliaan?” Mereka berduka karena tabut Allah dirampas. Mereka baru menyadari bahwa Tuhan sudah meninggalkan mereka. Ketika Israel menolak Tuhan, maka Tuhan memanggil bangsa-bangsa lain untuk menyerang mereka. Inilah cara Tuhan menghukum umat-Nya seperti yang berkali-kali terjadi pada zaman Kitab Hakim-hakim. Baik Eli maupun istri Pinehas meratap karena Tuhan telah menghancurkan mereka. Tetapi seharusnya mereka meratap dengan ratapan seperti ini ketika Israel mulai memberontak kepada Tuhan. Bahkan seharusnya mereka meratap dengan ratapan seperti ini ketika anak-anak dan suami mereka menghina Tuhan dengan menghina persembahan kepada Tuhan. Kapankah kita harus berdukacita? Ketika kita sudah kehilangan harta? Ketika ditaklukkan dalam perang? Tetapi seharusnya kita belajar berdukacita karena keberdosaan kita dan penyimpangan yang dilakukan oleh umat Tuhan. Nabi Yesaya meratapi umat Tuhan jauh sebelum mereka dibuang ke Babel (Yes. 1:2-9). Dia meratap karena Israel tidak mengenal Allah. Dia meratap karena bangsanya terus menerus berbuat jahat. Ada orang yang menangis ketika telah mendapatkan akibat dari dosa. Ini sama saja dengan penjahat yang tertunduk lesu karena sudah ditangkap polisi. Dia tertunduk bukan karena menyesali kejahatannya. Dia tertunduk karena sudah tertangkap. Orang yang menangis karena dihukum atas dosa-dosanya belum tentu sudah sungguh-sungguh bertobat. Tetapi jika seseorang benar-benar benci dosa-dosanya, menangisi dosa dan bertekad untuk kembali kepada Tuhan, walaupun belum berada dalam penghukuman oleh Tuhan, orang itu benar-benar sedang bertobat.
Kemenangan Filistin juga menimbulkan pertanyaan, tidakkah kemuliaan Tuhan tercoreng karena hal ini? Pengertian umum orang-orang zaman Perjanjian Lama adalah bahwa kalau dua bangsa sedang berperang, maka dewa-dewa mereka pun sedang ikut perang. Kemenangan sebuah bangsa adalah juga kemenangan dewa mereka. Tetapi Yesaya 48:11 menyatakan bahwa Tuhan tidak akan membiarkan nama-Nya dinajiskan. Maka Tuhan pun memberikan ingatan di dalam diri orang-orang Filistin tentang peristiwa keluarnya Israel dari Mesir (1Sam. 4:8). Begitu membekasnya peristiwa itu sehingga orang Filistin tidak pernah menganggap kemenangan mereka adalah kekalahan Allah Israel. Mereka bahkan percaya bahwa Tuhan jauh lebih kuat dari dewa-dewa mereka (lihat 1Sam. 5:7). Bahkan Tuhan membuat pertunjukan dengan menjatuhkan patung Dagon di Kuil Dagon hingga berada pada posisi menyembah tabut perjanjian. Kali kedua bahkan Tuhan menjatuhkan patung Dagon hingga kepala dan kedua tangan Dagon terpenggal (1Sam. 5:4). Tuhan tidak dikalahkan oleh ilah Filistin, tetapi Tuhan memang sengaja menyerahkan Israel ke tangan orang Filistin. Kegentaran di tengah-tengah Filistin menjadi makin besar ketika Tuhan menimpakan tulah borok kepada mereka. Ini mengingatkan mereka akan tulah di Mesir yang masih terus mereka simpan sebagai berita turun temurun (1Sam. 4:8). Tuhan tetaplah Allah yang berkuasa atas seluruh bangsa-bangsa. Mesir dan Filistin dihajar oleh tulah. Dialah yang mengatasi segala berhala. Maka berhala Mesir dan Dewa Dagon Filistin pun dihancurkan oleh-Nya.
Dua bagian dari bacaan kita hari ini mengajarkan suatu pengajaran yang sangat penting, yaitu bahwa Tuhan dapat menunjukkan kemuliaan dan kebesaran-Nya tanpa harus memanggil suatu umat pilihan dan memberkati mereka menjadi umat yang besar. Tuhan dapat saja menyatakan kemuliaan-Nya dengan mempermain-mainkan bangsa-bangsa. Benarkah kemuliaan telah meninggalkan Israel? Di manakah kemuliaan? Jika tidak lagi ada di tengah-tengah Israel, apakah itu berarti Tuhan tidak lagi sanggup menyatakan kemuliaan-Nya? Tidak! Dia tetap menyatakan kebesaran-Nya dengan menundukkan Filistin kepada tulah dan menghancurkan patung berhala mereka tanpa perbuatan tangan manusia. Tanpa umat-Nya pun nama-Nya tetap ditakuti dan dipuji oleh orang Filistin. Kebesaran-Nya tetap dapat dinyatakan di dalam murka dan penghakiman-Nya. Jadi mengapa Dia tetap rela memanggil Israel menjadi umat-Nya? Bahkan dalam pasal ke-7 Tuhan kembali memulihkan umat-Nya dan membuat orang Filistin takluk kepada Israel. Mengapa Dia memulihkan Israel? Alasannya adalah karena belas kasihan-Nya. Tuhan tidak memerlukan Israel, tetapi Tuhan mengasihani Israel. Tuhan tidak memerlukan kita untuk nama-Nya dipermuliakan. Tetapi Tuhan mengasihani kita sehingga Dia memanggil dan menyertai kita, bahkan memberikan kita kedudukan sebagai anak-anak-Nya.
Marilah kita merenungkan sejenak kalimat-kalimat di atas dan mencoba menjawab pertanyaan berikut sehingga hati kita terus dibentuk untuk makin mengagumi kemurahan belas kasihan Tuhan:
1. Pernahkah kita menangisi dosa-dosa kita? Bukan karena sudah diketahui orang atau karena sedang dihukum karena dosa dosa itu, tetapi murni karena kita menyadari betapa menjijikkannya dosa-dosa tersebut. Pernahkah kita berada dalam keadaan yang begitu sulit karena sadar betapa rusaknya diri kita di hadapan Tuhan? Berdoalah supaya Tuhan memberikan kita hati yang sadar akan dosa dan berdukacita karena dosa-dosa yang kita sudah kerjakan. Dukacita sedemikian akan mengawali pertobatan sejati.
1. Pernahkah kita menangisi dosa-dosa kita? Bukan karena sudah diketahui orang atau karena sedang dihukum karena dosa dosa itu, tetapi murni karena kita menyadari betapa menjijikkannya dosa-dosa tersebut. Pernahkah kita berada dalam keadaan yang begitu sulit karena sadar betapa rusaknya diri kita di hadapan Tuhan? Berdoalah supaya Tuhan memberikan kita hati yang sadar akan dosa dan berdukacita karena dosa-dosa yang kita sudah kerjakan. Dukacita sedemikian akan mengawali pertobatan sejati.
2. Pernahkah kesombongan masuk ke dalam diri kita dengan berpikir bahwa Tuhan memerlukan kita untuk menyatakan kemuliaan nama-Nya? Mungkin bukan kita secara individu, tetapi kita secara gereja? Ah, kalau bukan karena gerakan Reformed Injili, bagaimana mungkin nama Tuhan dapat dipermuliakan? Jangan sampai suatu saat nanti Tuhan mengajari kita suatu fakta bahwa gerakan ini disingkirkan oleh Tuhan, dan Tuhan tetap sanggup menyatakan kemuliaan-Nya. Mungkin kesombongan ini masuk dengan tidak disadari. Pernahkah kita berpikir bahwa tanpa kita pekerjaan Tuhan akan terhambat? Kalau kita berpikir seperti ini nanti Tuhan akan menyingkirkan kita dari pelayanan. Dia tidak lagi akan memakai kita, tetapi Dia akan menunjukkan bahwa pekerjaan Tuhan akan makin berkembang tanpa adanya kita yang berbagian di dalamnya. Mungkin juga kesombongan ini muncul dalam bentuk menganggap diri lebih baik dari rekan pelayanan yang lain. Kita merasa diri kita lebih suci, lebih saleh, atau lebih ahli dari yang lain dan mulai memandang rendah yang lain karena kita merasa Tuhan pasti akan memakai kita lebih daripada yang lain. Ini kesombongan ala orang Farisi! Atau jangan-jangan kesombongan merasa tidak perlu bergantung kepada Tuhan di dalam doa pribadi maupun bersama. Siapa yang malas ikut Persekutuan Doa sudah terjangkit kesombongan ini karena dia merasa pelayanan bisa berjalan terus tanpa harus bersujud dalam doa kepada Tuhan bersama-sama dengan jemaat lainnya. Kiranya kita menyadari bahwa Tuhan tidak harus memakai kita. Jika toh Dia tetap memanggil kita untuk melayani-Nya, itu semua dilakukan karena belas kasihan-Nya bagi kita.