Devotion from 1 Samuel 2:27-36
Hari ini kita akan merenungkan beberapa hal berikut dari bacaan kita:
Pertama, ayat 23 mengatakan bahwa Eli sudah sering mendengar keluhan dari segenap bangsa mengenai kelakuan anak-anaknya. Ini merupakan cara Tuhan memberikan peringatan kepada Eli. Tuhan sering kali memakai instrumen “sesama manusia” untuk mengingatkan orang-orang yang ingin ditegur-Nya. Kita harus dengan rendah hati belajar peka mendengar teguran Tuhan melalui teguran orang-orang di sekitar kita. Eli mendapatkan teguran dari Tuhan melalui rakyat Israel. Rakyat menegur pemimpinnya. Jemaat menegur hamba Tuhannya. Mari belajar mendengar masukan yang sungguh-sungguh penting. Ada orang yang terus bicara tentang hal-hal remeh yang bukan sesuatu yang dipentingkan oleh Tuhan. Tetapi ada juga suara orang, yang meskipun datang dari golongan yang rendah sekalipun, dipakai oleh Tuhan untuk menyatakan teguran dari Tuhan. Hamba Tuhan harus belajar mendengar teguran dari jemaat, dan orang yang lebih tua pun harus rela kalau Tuhan memakai anak muda untuk memberikan teguran-Nya. Pdt. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa orang yang rela dikoreksi akan mempunyai hari depan yang lebih baik. Tetapi Eli tidak juga membereskan kerusakan rumah tangganya yang menyebabkan seluruh Israel terseret ke dalam dosa. Dia gagal bertindak keras kepada anak-anaknya. Maka suara berikut yang dia dengar bukan lagi teguran Tuhan, melainkan penghakiman Tuhan. Ayat 31-36 seluruhnya berisi keputusan penghakiman Tuhan bagi Eli. Apakah penghakiman Tuhan ini berarti akhir dari segalanya? Tidak. Karena sering kali Tuhan memakai penghakiman untuk memberikan teguran dengan cara yang paling keras. Tuhan mengutus Yunus untuk berseru, “40 hari lagi kota ini akan ditunggangbalikkan!” (Yun. 3:4). Ini adalah seruan penghakiman. Tetapi ternyata seruan ini diberikan Tuhan bukan sebagai pengumuman hukuman, melainkan teguran yang sangat keras. Bahkan Yunus pun sebenarnya diutus karena Tuhan mengasihi Niniwe (Yun. 4:10, 11). Itu sebabnya ketika Niniwe bertobat Tuhan tidak jadi menghukum mereka (Yun. 3:10). Maka sebenarnya Eli masih diberikan kesempatan untuk membersihkan Israel dari kebobrokan anak-anaknya. Tetapi reaksi Eli berbeda dengan reaksi para pemimpin Niniwe. Para pemimpin Niniwe dengan ketakutan memerintahkan seluruh rakyatnya untuk berkabung. Bahkan sapi pun disuruh berkabung (Yun. 3:6-9). Tetapi bagaimana reaksi Eli? Ketika peringatan Tuhan sekali lagi dinyatakan melalui Samuel, reaksi Eli seolah-olah mengatakan, “biarlah…” atau “ya sudah… mau apa lagi?” (1Sam. 3:18). Tidak ada kegentaran dalam diri Eli.
Pertama, ayat 23 mengatakan bahwa Eli sudah sering mendengar keluhan dari segenap bangsa mengenai kelakuan anak-anaknya. Ini merupakan cara Tuhan memberikan peringatan kepada Eli. Tuhan sering kali memakai instrumen “sesama manusia” untuk mengingatkan orang-orang yang ingin ditegur-Nya. Kita harus dengan rendah hati belajar peka mendengar teguran Tuhan melalui teguran orang-orang di sekitar kita. Eli mendapatkan teguran dari Tuhan melalui rakyat Israel. Rakyat menegur pemimpinnya. Jemaat menegur hamba Tuhannya. Mari belajar mendengar masukan yang sungguh-sungguh penting. Ada orang yang terus bicara tentang hal-hal remeh yang bukan sesuatu yang dipentingkan oleh Tuhan. Tetapi ada juga suara orang, yang meskipun datang dari golongan yang rendah sekalipun, dipakai oleh Tuhan untuk menyatakan teguran dari Tuhan. Hamba Tuhan harus belajar mendengar teguran dari jemaat, dan orang yang lebih tua pun harus rela kalau Tuhan memakai anak muda untuk memberikan teguran-Nya. Pdt. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa orang yang rela dikoreksi akan mempunyai hari depan yang lebih baik. Tetapi Eli tidak juga membereskan kerusakan rumah tangganya yang menyebabkan seluruh Israel terseret ke dalam dosa. Dia gagal bertindak keras kepada anak-anaknya. Maka suara berikut yang dia dengar bukan lagi teguran Tuhan, melainkan penghakiman Tuhan. Ayat 31-36 seluruhnya berisi keputusan penghakiman Tuhan bagi Eli. Apakah penghakiman Tuhan ini berarti akhir dari segalanya? Tidak. Karena sering kali Tuhan memakai penghakiman untuk memberikan teguran dengan cara yang paling keras. Tuhan mengutus Yunus untuk berseru, “40 hari lagi kota ini akan ditunggangbalikkan!” (Yun. 3:4). Ini adalah seruan penghakiman. Tetapi ternyata seruan ini diberikan Tuhan bukan sebagai pengumuman hukuman, melainkan teguran yang sangat keras. Bahkan Yunus pun sebenarnya diutus karena Tuhan mengasihi Niniwe (Yun. 4:10, 11). Itu sebabnya ketika Niniwe bertobat Tuhan tidak jadi menghukum mereka (Yun. 3:10). Maka sebenarnya Eli masih diberikan kesempatan untuk membersihkan Israel dari kebobrokan anak-anaknya. Tetapi reaksi Eli berbeda dengan reaksi para pemimpin Niniwe. Para pemimpin Niniwe dengan ketakutan memerintahkan seluruh rakyatnya untuk berkabung. Bahkan sapi pun disuruh berkabung (Yun. 3:6-9). Tetapi bagaimana reaksi Eli? Ketika peringatan Tuhan sekali lagi dinyatakan melalui Samuel, reaksi Eli seolah-olah mengatakan, “biarlah…” atau “ya sudah… mau apa lagi?” (1Sam. 3:18). Tidak ada kegentaran dalam diri Eli.
Kedua, ayat 30 bagian akhir mengatakan suatu kalimat kesimpulan, “…siapa menghormati Aku, akan Kuhormati, tetapi siapa yang menghina Aku, akan dipandang rendah.” Inilah yang sebenarnya menjadi permasalahan sangat besar bagi Imam Eli. Siapa yang menghormati Tuhan akan dihormati oleh Dia. Betapa lebih beratnya tuntutan bagi Eli sebab Tuhan sudah lebih dulu memberikan hormat-Nya kepada Eli dengan menjadikan dia imam. Ayat 27 dan 28 menegaskan kembali bahwa Israel adalah umat istimewa bagi Tuhan, dan bahwa keistimewaan yang bahkan lebih besar lagi Tuhan berikan bagi Eli dengan menjadikan dia imam atas seluruh Israel. Siapa yang diberi banyak dituntut banyak, siapa yang dipercayakan banyak akan lebih banyak lagi dituntut (lihat Luk. 12:48). Tuhan menghormati Eli dengan menjadikan dia imam yang memimpin. Tuhan begitu memberikan penghargaan kepada orang-orang yang tidak layak. Eli, dan juga nanti kita akan lihat Saul, diberikan kemuliaan yang begitu agung, tetapi diresponi dengan sikap yang sangat menghina Tuhan. Kita membaca bagian ini bukan untuk melihat dari jauh dan menghakimi Eli, atau Saul, tetapi supaya kita merenungkan kembali bahwa Tuhan pun telah terlebih dahulu memberikan penghargaan kepada kita. Penghargaan yang sama sekali tidak layak kita terima. Tuhan memberikan kita penebusan untuk menjadikan kita anak-anaknya. Kristus menjadi bagian yang sangat mulia tetapi diberikan kepada orang-orang hina seperti kita. Anugerah dipimpin oleh Roh Kudus pun adalah anugerah yang demikian besarnya sehingga kita boleh dipimpin dalam kebenaran dan kesucian hari demi hari. Firman Tuhan pun merupakan anugerah yang ilahi dan sempurna. Siapakah yang dalam hidupnya boleh menerima bimbingan dari Allah? Siapakah manusia berdosa yang boleh mengenal Allah yang suci melalui firman-Nya? Meskipun kita tidak layak menerima satupun hal-hal tersebut, tetapi Tuhan memberikannya kepada kita. Akankah kita menghina Dia dengan tidak memberikan hormat kita kepada Dia?
Ketiga, apakah yang sebenarnya menjadi kegagalan Eli dan anak-anaknya? Apakah yang dimaksudkan tidak menghormati Tuhan? Hal yang utama adalah karena Eli dan anak-anaknya melihat keuntungan pribadi, baik makanan, kesenangan, ataupun kekuasaan sebagai sesuatu yang bisa dikais dari pekerjaan melayani Tuhan. Mereka tidak melihat dedikasi dan pengorbanan, tetapi keuntungan dan kenikmatan dalam melayani. Profit pribadi. Itulah sasaran mereka dalam melayani. Bahkan ketika kaum Eli sudah disingkirkan pun tetap ada keturunannya yang mengemis meminta dijadikan imam dengan tujuan supaya bisa makan (ay. 36). Hamba Tuhan yang bergelimang harta, hidup mewah, hidup seenaknya, bermalas-malasan, mencari kekuasaan dan pengaruh akan mendapatkan hukuman sama seperti keluarga Eli mendapatkan hukuman. Keadaan korup dari imam sampai sekarang masih terdapat di gereja. Pendeta-pendeta yang menikmati perpuluhan hingga milyaran rupiah, bahkan lebih, mereka akan mendapat celaka yang sangat besar. Perpuluhan tidak seharusnya dikuasai oleh hamba Tuhan. Keserakahan membuat begitu banyak hamba Tuhan menipu jemaat demi keuntungan kantong sendiri.
Keempat, jika demikian apakah yang dimaksud dengan menghormati Tuhan? (1) Menghormati Tuhan berarti menaati perintahnya dengan jujur dan murni karena kita mengasihi Tuhan. (2) Menghormati Tuhan berarti tidak datang melayani Dia untuk suatu keuntungan pribadi. Ada yang ingin jadi bendahara di tengah-tengah longgarnya pengawasan gereja untuk bisa menipu uang jemaat. Ada yang ingin jadi hamba Tuhan untuk bisa memonopoli sekelompok orang dan menjadikan mereka pengikutnya. Ada yang ingin melayani karena ingin menonjolkan diri. Semua ini bisa terjadi karena tidak ada perasaan hormat kepada Allah yang mengetahui segala sesuatu. (3) Menghormati Tuhan berarti menyadari bahwa saya sedang berjalan di depan dan Tuhan sedang mengawasi di belakang (Kej. 17:1). Setiap langkah yang saya jalankan adalah untuk mendapatkan persetujuan dari Allah yang sedang mengawasi di belakang. Setiap jalan yang saya ambil adalah karena Allah yang mengawasi dan mengarahkan saya ke sana. Tetapi jika kita tidak sadar bahwa Allah adalah yang mengawasi, yang akan memberikan penilaian, dan yang akan menuntut pertanggungjawaban, maka kita tidak mungkin mempunyai perasaan hormat kepada Dia. (4) Menghormati Tuhan berarti menganggap diperkenan Tuhan lebih penting daripada diperkenan manusia. Siapa yang masih senang pujian manusia, hormat manusia, dan siapa yang masih lebih takut kepada manusia daripada kepada Allah adalah orang-orang yang gagal menghormati Tuhan. Setelah kita mengikut Tuhan dengan setia, akan ada saatnya di mana memuaskan hati Tuhan akan berkonflik dengan memuaskan hati manusia. Manakah yang akan kita pilih kalau konflik itu tiba? Akankah kucari kesenangan manusia? Jika ya, maka aku bukan hamba Kristus (lihat Gal. 1:10).
Marilah kita bersama-sama mohon supaya Tuhan membentuk hati kita dengan merenungkan beberapa pertanyaan ini:
1. Sudahkah kita sadar bahwa Tuhan mengamati seluruh langkah kita? Sudahkah kita dengan sukacita dan damai menginginkan Tuhan terus mengamati seluruh langkah kita? Atau kita lebih suka kalau Dia pergi saja dan membiarkan kita berjalan sesuka kita?
2. Jika menyenangkan Tuhan ternyata bertentangan dengan tuntutan manusia, manakah yang kita pilih untuk disenangkan? Tuhankah? Atau manusia?
1. Sudahkah kita sadar bahwa Tuhan mengamati seluruh langkah kita? Sudahkah kita dengan sukacita dan damai menginginkan Tuhan terus mengamati seluruh langkah kita? Atau kita lebih suka kalau Dia pergi saja dan membiarkan kita berjalan sesuka kita?
2. Jika menyenangkan Tuhan ternyata bertentangan dengan tuntutan manusia, manakah yang kita pilih untuk disenangkan? Tuhankah? Atau manusia?