speaking in tongue

23 July 2018
Karunia berbahasa roh atau bahasa lidah (speaking in tongue, di dalam terjemahan Inggrisnya), merupakan salah satu karunia yang sering kali menjadi perdebatan sampai saat ini. Selain itu karunia ini juga sering dipandang sebagai karunia yang lebih istimewa daripada karunia lainnya. Seakan-akan ada satu kebanggaan tersendiri jika memiliki karunia tersebut. Salah satu atau dua alasan yang sering dikemukakan adalah, “kalau kita berbahasa roh, kita berkomunikasi dengan Tuhan, tidak seorang pun yang tahu apa yang kita ucapkan (termasuk setan atau iblis), karena itu bersifat rahasia” atau “waktu kita berbahasa roh kita sedang membangun diri kita dengan Tuhan”.
Sekarang mari kita perhatikan apa yang diajarkan Alkitab mengenai bahasa roh. Jika kita hanya melihat di dalam, 1 Korintus 14:2, “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. Sebab tidak ada seorang pun yang mengerti bahasanya; oleh Roh ia mengucapkan hal-hal yang rahasia” dan di 1 Korintus 14:4, “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri, tetapi siapa yang bernubuat, ia membangun Jemaat”, maka sepertinya tidak ada yang salah dengan jawaban di atas. Sayangnya Alkitab tidak berhenti di 1 Korintus 14:2 dan 4 saja, Alkitab justru memberitahukan kepada kita, bahwa apa yang kita katakan sebagai bahasa yang tidak dimengerti seorang pun dan membangun diri tersebut, sesungguhnya harus menjadi bahasa yang dimengerti dan membangun jemaat.
Di dalam 1 Korintus 14:5 dikatakan, “Aku suka, supaya kamu semua berkata-kata dengan bahasa roh, tetapi lebih dari pada itu, supaya kamu bernubuat. Sebab orang yang bernubuat lebih berharga dari pada orang yang berkata-kata dengan bahasa roh, kecuali kalau orang itu juga menafsirkannya, sehingga Jemaat dapat dibangun”. Di sini rasul Paulus mau memberitahukan kepada kita, bahwa karunia berbahasa roh bukanlah karunia yang hanya digunakan untuk membangun diri dan bersifat rahasia, seperti yang selama ini diajarkan di beberapa gereja. Karunia ini juga merupakan karunia yang tidak bersifat rahasia, serta dapat membangun jemaat melalui adanya penafsiran terhadap bahasa roh. Di sini kita melihat dari yang bersifat rahasia menjadi tidak bersifat rahasia. Dari yang membangun diri menjadi membangun jemaat.
Praktik yang terjadi pada saat ini adalah di dalam pertemuan jemaat (yang dalam konteks hari ini dapat dikatakan sebagai sebuah ibadah, persekutuan, ataupun kelompok kecil), orang-orang yang mengaku mendapatkan karunia ini justru menggunakannya tanpa ada yang menafsirkan. Seakan-akan semuanya hanya berfokus untuk membangun dirinya sendiri dan bukan membangun jemaat. Akibatnya ketika masuk orang-orang luar atau orang yang tidak beriman, maka mereka akan berkata bahwa orang-orang tersebut gila, kata Paulus (1Kor. 14:23).
Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan apa yang telah Alkitab ajarkan. Paulus mengatakan di dalam pertemuan jemaat, jika ada orang yang berkata-kata dalam bahasa roh biarlah dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang saja. Selain itu, orang-orang tersebut harus bergantian di dalam berbahasa roh dan harus ada yang menafsirkan. Jika tidak, maka mereka harus berdiam diri (1Kor. 14:27, 28), artinya setiap orang yang diberikan karunia berbahasa roh harus mampu menahan dirinya untuk tidak berbahasa roh jika tidak ada yang menafsirkan. Mereka harus mampu menggunakan karunia itu untuk membangun jemaat ketika berada dalam pertemuan jemaat. Selain itu, prinsip ini juga berarti adanya keteraturan dalam pertemuan jemaat. Adanya saling menghormati dan saling memahami antara yang satu dengan yang lainnya.
Tentunya ini bukan berarti kita tidak boleh membangun diri kita sendiri, karena ada saatnya kita perlu membangun diri, misalnya saat teduh, memuji Tuhan secara pribadi, atau berdoa untuk pertumbuhan rohani kita. Akan tetapi jika kita hanya membangun diri sendiri dan tidak menjadi berkat bagi orang lain, bukankah kita bersifat seperti kekanak-kanakan.1
Melalui artikel ini, mari kita sekali lagi merenungkan bagaimana seharusnya sebuah karunia digunakan. Kita percaya bahwa karunia itu adalah pemberian Allah dan diberikan dengan maksud untuk membangun jemaat-Nya. Mari kita kembali kepada apa yang Alkitab ajarkan, sehingga kita tidak terus mengulangi kesalahan yang sama, yang terjadi pada jemaat di Korintus. Biarlah kita boleh belajar menggunakan setiap karunia yang Tuhan berikan dengan benar sesuai dengan maksud dan tujuan Sang Pemberi Karunia.