Devotion from Yohanes 18:39-19:11
Yesus Kristus, Sang Raja, Anak Allah. Inilah dua sebutan tentang Yesus yang telah diberitakan sejak di Perjanjian Lama. Dialah Sang Raja yang dijanjikan Tuhan bagi keluarga Daud dan bagi Israel (2Sam. 7:12-13). Dialah Raja yang dilantik Tuhan di gunung-Nya yang kudus (Mzm. 2:6). Dialah Raja yang juga disebut Anak Allah (Mzm. 2:7). Fakta-fakta inilah yang didengar oleh Pilatus. Tetapi ironis, Pilatus mendengar fakta-fakta ini dari orang banyak yang ingin Yesus dihukum mati. Merekalah yang memberikan tuduhan bahwa Yesus mengaku sebagai raja. Di dalam ayat 7 mereka jugalah yang memberitahukan kepada Pilatus bahwa Yesus mengaku sebagai Anak Allah. Yesus pun tidak menyanggah tuduhan ini. Dia menekankan kebenaran bahwa Dia memang adalah Sang Raja, Anak Allah yang Mahatinggi. Segala penjelasan yang Yesus berikan benar-benar membuat Pilatus menjadi goyah. Awalnya dia adalah seorang yang meremehkan Yesus dan ingin perkara ini segera berakhir tanpa keributan dan huru-hara. Tetapi semakin lama dia semakin takut karena Yesus. Bagaimana jika Dia benar-benar Raja yang datang dari surga? Bagaimana jika Dia benar-benar Anak Allah? Hal-hal ini membingungkan Pilatus. Jika Dia benar-benar Raja Surga dan Anak Allah, mengapa Dia ditangkap dan dibelenggu? Jika Dia hanya orang gila, mengapa seluruh Yerusalem gempar dan membenci Dia serta ingin membunuh Dia? Bukankah seorang gila seharusnya tidak menjadi ancaman bagi para petinggi Israel? Kalimat-kalimat Yesus yang penuh kuasa dan hikmat membuat Pilatus tahu bahwa Yesus tidak mungkin tidak waras. Di tengah-tengah kebingungan ini Pilatus menunjukkan diri sebagai seorang pemimpin yang mewakili dunia ini. Seorang pemimpin yang bertindak secara politis, bukan secara benar.
Banyak orang menjadi pemimpin dengan kekuatan dukungan politik. Dunia politik mengharuskan seseorang menjadi pemimpin dengan dukungan dari orang-orang atau kelompok-kelompok yang berpengaruh. Maka tindakan seorang pemimpin haruslah tepat di dalam sudut pandang para pendukung. Inilah yang menyandera seorang pemimpin. Tetapi jika dia adalah pemimpin yang baik, dia akan mengorbankan dukungan demi kebenaran. Dia tidak akan sembarangan bertindak, mempertimbangkan kepentingan orang-orang yang dipimpinnya, meminimalkan kemungkinan terjadinya huru-hara, tetapi tidak pernah mengompromikan kebenaran. Dia tidak mungkin mengabaikan kebenaran. Pilatus bukanlah seorang pemimpin yang baik. Dia mengabaikan hatinya sendiri dan mendengarkan suara rakyat yang korup dan jahat. Tidakkah dia sanggup bertindak untuk membubarkan rakyat banyak yang berkumpul untuk menghukum Yesus? Tentu, tetapi pasti dengan huru-hara besar. Huru-hara yang mungkin akan menyebabkan karier politiknya turun. Dia belum mempunyai kedudukan setara gubernur Romawi. Dia hanya diserahkan daerah yang tidak terlalu besar di dalam kepentingan Kekaisaran Romawi. Tetapi jika dia berhasil dengan baik di Yudea, tentu jalan ke depan untuk posisi yang semakin baik akan terbuka. Demi kepentingan inilah Pilatus tidak bertindak dengan cara yang akan menyebabkan keributan. Tetapi dia juga tahu bahwa Yesus tidak bersalah. Dia tidak bisa dihukum. Menghukum Yesus akan menjadikan Yesus diperlakukan sangat tidak adil. Orang-orang yang menyerahkan Yesus karena iri hati, tersinggung, atau diganggu kepentingannya pun tidak sanggup mendatangkan saksi-saksi yang bisa memberatkan Yesus dengan kesaksian yang benar. Sebelum memutuskan tindakan selanjutnya, Pilatus mencoba mencari tahu apakah Yesus memiliki pendukung atau tidak. Itulah sebabnya di dalam 18:39 Pilatus menawarkan untuk membebaskan Yesus. Biarlah Yesus dianggap bersalah, tetapi sekarang, untuk merayakan hari raya Yahudi, Yesus diberikan sebagai hadiah bagi orang Yahudi. Dia diberikan pengampunan sehingga tidak perlu dihukum. Ternyata tidak seorang pun di tengah-tengah kerumunan orang banyak itu yang ingin Yesus dibebaskan. Mereka ingin seorang pemberontak bernama Barabas yang dibebaskan. Barabas, bukan Yesus! Ini tentu mengejutkan Pilatus. Yesus tidak memiliki pendukung sama sekali. Akan fatal akibatnya jika dia membebaskan Yesus.
Menyadari hal ini, Pilatus memutusan untuk mencambuk Yesus. Ini adalah hukuman cambuk yang sangat kejam. Pilatus berharap setelah melihat keadaan Yesus, melihat bagaimana hukuman cambuk menghancurkan punggung Yesus, mereka akan berhenti mendesak Pilatus untuk menghukum mati Yesus. Kekejaman cambuk Romawi sudah sangat terkenal. Ini bukanlah hukum cambuk Yahudi yang dilakukan empat puluh kali kurang satu. Ini adalah hukum cambuk yang sangat brutal. Seorang yang dihukum dengan cambuk Romawi akan dipukul oleh sebuah cambuk dengan beberapa tali dengan kait besi dan gigi binatang buas yang terikat pada ujungnya. Algojo yang mencambuk adalah tentara Romawi dengan kekuatan tangan yang sangat terlatih. Para tentara ini sering berlomba untuk menentukan siapakah yang paling tahan mencambuk seorang yang terhukum. Siapakah yang paling lama mencambuk? Siapakah yang paling memberikan kerusakan pada punggung orang yang dihukum? Dia akan dianggap hebat di antara teman-teman tentaranya. Cambuk ini sering mengakibatkan kematian karena luka brutal yang disebabkannya. Kulit dan daging di punggung orang yang dihukum menjadi tercabik-cabik. Catatan dari Josephus, sejarawan Yahudi tentang orang-orang Yahudi yang dihukum cambuk oleh Romawi menggambarkan keadaan beberapa orang yang dihukum cambuk. Keadaan mereka sangat kasihan dan mengerikan. Ada bagian tulang mereka yang bisa terlihat karena kulit dan daging yang sudah tercabik amat dalam. Ini hukuman yang sangat mengerikan, dan Pilatus mengambil cara ini dengan harapan bahwa setelah melihat keadaan Yesus yang tercambuk, orang-orang Yahudi akan merasa kasihan dan berhenti mendesak Pilatus untuk menyalibkan Yesus.
Seperti kebiasaan orang Romawi pada umumnya, Yesus dicambuk dan dipermainkan. Dia dikenakan jubah dan diberi mahkota duri lalu dipermainkan oleh para tentara. Setelah mempermainkan Yesus, Dia pun dipamerkan ke depan orang banyak untuk dipermalukan. Biasanya hakim akan berseru, “lihatlah manusia ini” sebagai pengumuman agar orang banyak melihat orang yang dicambuk itu dan mempermalukan dia dengan hinaan. Inilah yang dilakukan oleh Pilatus. Dia berseru, “lihatlah manusia itu.” Tetapi, berbeda dengan pengumuman yang biasanya dilakukan, Pilatus terlebih dahulu mengumumkan bahwa dia tidak mendapati kesalahan apa pun pada Yesus. Hukum cambuk yang kejam yang diterima Yesus bukanlah suatu bentuk keadilan. Orang banyak sudah mendesak Dia yang tidak bersalah untuk dihukum. Ini semua dilakukan Pilatus agar orang banyak itu puas, dan jikalau mungkin mulai merasa kasihan, dan segera meninggalkan tempat pengadilan itu sehingga eksekusi penyaliban Yesus yang mereka inginkan tidak jadi dilakukan. Tetapi dugaan Pilatus meleset. Mereka semakin keras berteriak, “Salibkan Dia! Salibkan Dia!” Seruan ini menenggelamkan suara Pilatus yang masih mengatakan bahwa dia tidak mendapati kesalahan apa pun pada Yesus. Mengapa cambuk yang demikian kejam tidak cukup? Tiba-tiba ada seruan dari tengah orang banyak, “Dia harus mati karena Dia melanggar Taurat kami dengan menyatakan diri Anak Allah!” Kalimat ini sangat mengagetkan Pilatus. Anak Allah? Jika benar Yesus Anak Allah, maka seluruh kisah yang sedang dialami Pilatus menjadi sangat sulit dimengerti. Anak Allah diperlakukan sedemikian kejam, dan Dia tidak bereaksi apa pun? Ketenangan Yesus dan jawaban-Nya yang dengan konsisten menyatakan bahwa Dia adalah Raja yang dikirim dari surga membuat Pilatus semakin takut. Dia sulit menyangkal bahwa Yesus benar-benar Anak Allah. Mengapa sulit? Di tengah-tengah keadaan demikian, bukankah semakin mudah menolak pengakuan Yesus bahwa Dia Anak Allah? Dua hal yang membuat Pilatus sulit mengabaikan pernyataan Yesus bahwa Dia adalah Anak Allah. Yang pertama adalah Yesus tidak menolak pengakuan ini walaupun pengakuan ini membuat Dia dihukum mati. Jika Dia berpura-pura, apakah mungkin Dia tetap berpura-pura walaupun ada risiko dihukum mati? Yang kedua adalah ketenangan dan kuasa Yesus saat menjawab pertanyaan Pilatus. Dia bukan orang gila yang kacau di dalam berpikir dan berbicara. Yesus bukanlah seorang dengan gangguan pikiran dan delusi diri. Dia dengan konsisten dan tenang terus berbicara tentang siapa diri-Nya kepada Pilatus. Bahkan setelah dicambuk sedemikian kejam pun Yesus tidak mengubah pengakuan-Nya. Ayat 11 menjadi pengakuan terakhir Yesus kepada Pilatus. “Engkau tidak punya kuasa apa pun atas Aku jika kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas.” Inilah kalimat yang sangat penuh otoritas. Pilatus mendapatkan kalimat singkat tetapi merangkum pengajaran Yesus yang sangat penting. Dia tunduk kepada otoritas Bapa-Nya di surga, dan karena itu Dia merelakan diri-Nya ditaklukkan di bawah otoritas Pilatus dan menerima hukuman dari dia. Ketaatan kepada Bapa akhirnya terbukti dengan kerelaan Yesus mengalami semua yang Dia alami sejauh ini. Hukuman cambuk dan hukuman salib diterima-Nya dengan penuh kerelaan sebagai Sang Anak Allah yang menjalankan kehendak Bapa-Nya yang di surga. Ketenangan dalam menjalankan kehendak Bapa membuat Dia tidak gentar dan tidak membela diri di dalam keadaan apa pun sampai salib membawa kematian bagi-Nya. Dengan punggung terkoyak, menghadapi seruang beringas yang menuntut kematian-Nya, dan dengan keharusan tunduk kepada otoritas rendah dari seorang Pilatus, Sang Anak Allah tidak berubah. Dia tetap dengan kesetiaan-Nya yang semula kepada Bapa-Nya. Apa yang Dia doakan, “jadilah kehendak-Mu ya Bapa,” dalam keadaan apa pun dijalani-Nya dengan rela.