Sejak kita masih kecil, kita selalu dituntut untuk kelak ketika sudah
dewasa kita harus dapat menjadi orang besar. Misalkan saja ketika
ditanya apakah cita-citamu ketika kamu dewasa? Biasanya kita akan
menjawab ingin menjadi dokter, pilot, tentara, atau profesi lainnya yang
kita tahu sangat berpengaruh dalam masyarakat. Apakah menjadi seorang
yang besar adalah sesuatu hal yang salah? Bagaimanakah Alkitab berbicara
tentang menjadi seorang yang besar?
Matius 20:20-28 mencatat permintaan Ibu Yakobus dan Yohanes perihal agar kedua anaknya boleh duduk di sebelah kiri dan kanan Yesus di dalam kerajaan Allah. Hal tersebut membuat murid yang lain menjadi marah kepada kedua saudara itu karena mereka berusaha mendapatkan keuntungan secara tidak adil dalam mendapatkan apa yang juga diinginkan oleh murid-murid yang lain (ay. 24). Tetapi menarik sekali ketika Yesus memanggil mereka dan menjawab demikian, “Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu, sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat. 20:25-28).
Apa yang hendak Yesus perintahkan menjadi suatu paradoks bagi dunia ini. Dunia menganggap bahwa ketika kita menjadi besar, itu artinya nama kita dikenal banyak orang, memiliki jabatan yang tinggi, memiliki pangkat yang tinggi, dan memiliki kuasa yang besar. Semakin tinggi jabatan kita, sudah seharusnya kita semakin dilayani. Itulah arti menjadi besar bagi dunia ini. Tetapi apa yang Yesus ajarkan sangat berbeda. Menjadi besar artinya menjadi seorang yang semakin melayani, bukan dilayani, dan hendaknya ia menjadi seorang hamba. Ketika Yesus berkata demikian, Ia tidak hanya memberikan suatu perintah untuk kita kerjakan, tetapi Ia sudah melakukannya terlebih dahulu. Ia menjadi teladan supaya kita juga boleh mengerjakan seperti yang Ia telah kerjakan.
Kita melihat bagaimana kehidupan Yesus. Ia adalah Allah namun Ia rela menjadi manusia. Dari yang tidak terbatas, rela menjadi yang terbatas. Bahkan Yohanes Pembaptis ketika hendak mempersiapkan jalan bagi kedatangan Kristus, mengatakan “… tetapi Ia yang lebih berkuasa daripadaku akan datang dan membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak” (Luk. 3:16). Kristus tidak menganggap kesetaraan-Nya dengan Allah sebagai sesuatu yang harus dipertahankan demi mengerjakan rencana Bapa-Nya, demi kehendak Bapa terlaksana, dan demi kita beroleh keselamatan serta diperdamaikan dengan Bapa.
Berapa banyak dari kita yang demi menjadi seorang “besar” telah mengorbankan begitu banyak waktu pribadi kita dengan Tuhan. Begitu banyak mengorbankan uang demi mendapatkan posisi yang dikenal oleh banyak orang? Ketika Kristus berinkarnasi menjadi manusia, Ia tidak lahir di sebuah tempat yang mewah, melainkan di kandang domba yang mungkin tidak akan terpikirkan oleh orang kalau akan ada seorang Bayi yang lahir di sana. Bahkan di sepanjang kehidupan-Nya, Ia mengabdikan hidup-Nya untuk melayani dan melakukan kehendak Bapa-Nya. Kristus telah menjadi teladan yang sempurna untuk kita mengerti apa artinya menjadi seorang “besar” yang sejati, yaitu menyangkal diri kita dan memberikan hidup kita bagi Tuhan.
Sekali lagi, mari kita bertanya kepada diri kita sendiri: selama saya hidup, apakah yang menjadi prioritas saya? Apakah yang sungguh-sungguh saya kejar sehingga saya rela memberikan seluruh hidup untuknya? Demi kemuliaan siapakah saya mempersembahkan seluruh hidup saya?
Kiranya Tuhan memberikan kita kerendahan hati untuk terus dibentuk seturut dengan kehendak-Nya! Soli Deo Gloria!
Matius 20:20-28 mencatat permintaan Ibu Yakobus dan Yohanes perihal agar kedua anaknya boleh duduk di sebelah kiri dan kanan Yesus di dalam kerajaan Allah. Hal tersebut membuat murid yang lain menjadi marah kepada kedua saudara itu karena mereka berusaha mendapatkan keuntungan secara tidak adil dalam mendapatkan apa yang juga diinginkan oleh murid-murid yang lain (ay. 24). Tetapi menarik sekali ketika Yesus memanggil mereka dan menjawab demikian, “Kamu tahu, bahwa pemerintah-pemerintah bangsa-bangsa memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan pembesar-pembesar menjalankan kuasanya dengan keras atas mereka. Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu, sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Mat. 20:25-28).
Apa yang hendak Yesus perintahkan menjadi suatu paradoks bagi dunia ini. Dunia menganggap bahwa ketika kita menjadi besar, itu artinya nama kita dikenal banyak orang, memiliki jabatan yang tinggi, memiliki pangkat yang tinggi, dan memiliki kuasa yang besar. Semakin tinggi jabatan kita, sudah seharusnya kita semakin dilayani. Itulah arti menjadi besar bagi dunia ini. Tetapi apa yang Yesus ajarkan sangat berbeda. Menjadi besar artinya menjadi seorang yang semakin melayani, bukan dilayani, dan hendaknya ia menjadi seorang hamba. Ketika Yesus berkata demikian, Ia tidak hanya memberikan suatu perintah untuk kita kerjakan, tetapi Ia sudah melakukannya terlebih dahulu. Ia menjadi teladan supaya kita juga boleh mengerjakan seperti yang Ia telah kerjakan.
Kita melihat bagaimana kehidupan Yesus. Ia adalah Allah namun Ia rela menjadi manusia. Dari yang tidak terbatas, rela menjadi yang terbatas. Bahkan Yohanes Pembaptis ketika hendak mempersiapkan jalan bagi kedatangan Kristus, mengatakan “… tetapi Ia yang lebih berkuasa daripadaku akan datang dan membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak” (Luk. 3:16). Kristus tidak menganggap kesetaraan-Nya dengan Allah sebagai sesuatu yang harus dipertahankan demi mengerjakan rencana Bapa-Nya, demi kehendak Bapa terlaksana, dan demi kita beroleh keselamatan serta diperdamaikan dengan Bapa.
Berapa banyak dari kita yang demi menjadi seorang “besar” telah mengorbankan begitu banyak waktu pribadi kita dengan Tuhan. Begitu banyak mengorbankan uang demi mendapatkan posisi yang dikenal oleh banyak orang? Ketika Kristus berinkarnasi menjadi manusia, Ia tidak lahir di sebuah tempat yang mewah, melainkan di kandang domba yang mungkin tidak akan terpikirkan oleh orang kalau akan ada seorang Bayi yang lahir di sana. Bahkan di sepanjang kehidupan-Nya, Ia mengabdikan hidup-Nya untuk melayani dan melakukan kehendak Bapa-Nya. Kristus telah menjadi teladan yang sempurna untuk kita mengerti apa artinya menjadi seorang “besar” yang sejati, yaitu menyangkal diri kita dan memberikan hidup kita bagi Tuhan.
Sekali lagi, mari kita bertanya kepada diri kita sendiri: selama saya hidup, apakah yang menjadi prioritas saya? Apakah yang sungguh-sungguh saya kejar sehingga saya rela memberikan seluruh hidup untuknya? Demi kemuliaan siapakah saya mempersembahkan seluruh hidup saya?
Kiranya Tuhan memberikan kita kerendahan hati untuk terus dibentuk seturut dengan kehendak-Nya! Soli Deo Gloria!