Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu. (2Tim. 1:5)
“Bagai kacang lupa kulitnya” adalah suatu peribahasa, yang dalam kamus peribahasa berarti: 1) Orang yang dahulunya miskin setelah menjadi kaya, lupa akan asal usulnya, 2) Seseorang yang menjadi sombong, tidak tahu diri, dan lupa akan asal usulnya. Atau secara ringkas: tidak tahu diri; lupa akan asalnya. Keadaan ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Orang yang tadinya miskin, ketika menjadi kaya, ia lupa keberadaan asal dirinya; bahkan mungkin malu mengakui orang tuanya yang penampilannya masih sederhana seperti dahulu, karena terbiasa hidup miskin. Atau orang yang tadinya tidak mampu berbuat apa-apa, tetapi kemudian menjadi orang yang sukses oleh karena bantuan dari sobat karibnya. Namun setelah sukses, dia menjadi buta. Dia menganggap kesuksesannya itu didapatkan oleh karena usahanya sendiri dan bukan karena bantuan temannya. Dia lupa, bahwa tanpa bantuan temannya (bahkan mungkin temannya sampai harus berhemat demi supaya bisa membantu dirinya), usahanya tak akan ada.
Begitulah manusia berdosa, kesombongan dirinya membuat ia tidak rela mengakui bahwa keberhasilannya hari ini ada andil dari orang-orang yang mengasihinya dan memedulikannya selama ini. Ambil contoh yang lain: seorang pemuda berusia 20 tahun, bagaikan kacang lupa kulitnya ketika dia berhasil meraih kesuksesan sebagai seorang usahawan muda, dia menganggap itu adalah hasil kerja kerasnya. Guru yang pernah membimbingnya, orang tua yang membesarkannya dengan susah payah, tidaklah dianggapnya. Seolah-olah ia bisa jadi seperti sekarang ini, tidak ada hubungannya dengan keberadaannya dari sejak kecil. Ia lupa bahwa hari ini ia bisa jalan, adalah karena ketika bayi mamanya yang memberinya ASI, memberi makan baginya dengan menyuapinya. Ia lupa hari ini ia bisa berhitung dengan benar, karena ada guru yang sampai sekarang pun masih hidup sederhana, yang pernah membimbingnya dengan pelan-pelan bagaimana belajar berhitung.
Dalam 2 Timotius 1:5, firman Tuhan mengajarkan kita, bagaimana kita tidak boleh melupakan orang-orang yang dahulu pernah membimbing kita. Timotius sejak kecil dididik oleh neneknya Lois dan ibunya Eunike untuk beriman dengan tulus ikhlas kepada Allah di dalam nama Yesus Kristus. Hasil didikan itu menghasilkan Timotius. Rasul Paulus mengingatkannya, bagaimana mereka adalah orang-orang yang dipakai Tuhan untuk menjadikan Timotius saat itu.
Bagaimana keadaan kita hari ini? Mari kita tidak melupakan orang-orang yang pernah membimbing kita, baik secara ilmu pengetahuan maupun kerohanian. Kita bisa jago komputer hari ini karena ada guru-guru gaptek yang dulu mengajarkan kita angka-angka. Kita bisa jago theologi hari ini oleh karena pernah ada pembimbing rohani yang sabar mengajari kita dari pemahaman dasar firman Tuhan, dan seterusnya. Mari kita tidak “bagaikan kacang yang melupakan kulitnya”. Berdoa buat mereka yang pernah membimbing kita merupakan langkah awal kita untuk menghargai mereka dan Tuhan yang mengirimkan mereka bagi kita.