love is much more vicious motivator

Ketika menghadapi seorang pembunuh berantai dalam episode “Study in Pink”, Sherlock Holmes menganalisis motif di balik pembunuhan yang terjadi. Sang tersangka yang sudah membunuh empat orang bukan membunuh karena kepahitan hidupnya ataupun karena ketakutan, tetapi karena cinta. Saat itu Holmes mengatakan, “Cinta adalah motivator yang lebih ganas (love is a much more vicious motivator).”
Sekarang, pertanyaannya untuk kita semua: apa yang menjadi motivasi kita mengerjakan apa yang kita kerjakan? Atau dalam bentuk negatif, untuk tidak mengerjakan apa yang kita tidak kerjakan? Mengapa kita ke gereja? Mengapa kita mencoba untuk berbuat baik? Mengapa kita tidak membunuh orang lain? Mengapa tidak mencuri uang teman kita? Mengapa kita tidak melacur? Apa sih motivasi kita?
Mungkin alasannya didorong oleh ketakutan. Takut masuk penjara, takut dihina orang lain, takut reputasi hancur, takut dinasihati pendeta atau teman yang menyebalkan, ataupun kita yang sudah belajar tentang akhir zaman, takut akan penghakiman Tuhan pada hari terakhir itu. Tetapi Rasul Yohanes dalam suratnya berkata: “Di dalam kasih tidak ada ketakutan: kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan; sebab ketakutan mengandung hukuman dan barangsiapa takut, ia tidak sempurna di dalam kasih. Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita” (1Yoh. 4:18-19).
Apa artinya kalimat “kasih melenyapkan ketakutan”? Mungkin contoh di bawah ini akan menjelaskan. Dahulu ketika kita semua masih kecil, hidup kita dipenuhi aturan yang orang tua kita terapkan. Misalnya, penulis hanya boleh menonton satu film di TV setiap hari, tidak boleh lebih. Jadi setelah satu film selesai, penulis tidak berani dekat-dekat TV karena takut dimarahi orang tua. Penulis taat karena ketakutan akan hukuman yang biasanya berhubungan dengan tali pinggang. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, ketika penulis mulai beranjak dewasa dan tidak lagi tinggal bersama orang tua, penulis tidak nonton TV bukan karena takut hukuman orang tua. Ketakutan itu sudah lenyap dan penulis sudah sadar bahwa kebiasaan nonton TV berjam-jam setiap hari tidaklah baik. Kasih terhadap orang tua yang sudah mendidik membuat penulis sadar dan memilih untuk tidak membuang waktu di depan kotak kaca elektronik ini.
Demikian juga ketika kita mengasihi Tuhan, kita ingin melakukan yang terbaik setiap jamnya, hari demi hari, untuk kemuliaan-Nya. Hal ini kita lakukan seharusnya bukan karena takut akan hukuman atau penghakiman Allah.
Sebagai pemuda/i Kristen hari ini, apa yang menjadi motivasi hidup kita? Mari kita selidiki hati kita masing-masing, apakah segala sesuatu yang kita kerjakan didorong oleh ketakutan atau kasih? Seharusnya, kasihlah yang mendorong kita, karena kasih justru bisa membawa kita melakukan hal-hal yang jauh lebih spektakuler, for love is a much more vicious motivator.