faithful til the end

 

Saya masih ingat buku Kristen yang pertama kali saya baca. Buku tersebut mengubah cara pandang saya tentang iman dan kehidupan seorang Kristen. Buku itu membahas tentang bagaimana seorang Kristen seharusnya memahami apa yang ia percaya, serta hidup berpadanan dengan iman Kristennya. Buku tersebut meninggalkan kesan yang cukup mendalam bagi saya karena kekristenan ternyata tidak sesempit yang sebelumnya saya pikirkan, yakni jadi orang Kristen yang baik hanyalah sebatas sekolah dengan rajin, berprestasi di kelas, tidak berbohong, menuruti orang tua, dan berbuat baik kepada orang lain.

Penulis buku tersebut adalah Joshua Harris. Namun, pada Juli 2019 pendeta Harris mengumumkan dalam media sosial bahwa dia sudah tidak lagi Kristen, bercerai dengan istrinya, dan bahkan mendukung LGBTQ. Berita ini tentu sangat menggemparkan dunia kekristenan, sampai-sampai ada beberapa theolog yang ternama berkomentar mengenai hal ini. Seseorang yang sangat memengaruhi saya ketika saya masih seorang bayi rohani sekarang sudah meninggalkan iman Kristen. Kejadian ini sungguh membuat saya merenung. Hal ini sekali lagi menegaskan bahwa mengetahui theologi secara mendalam dan sudah bertahun-tahun menjadi “Kristen” tidak menjamin seseorang akan terus setia kepada Tuhan.

Mungkin kita pernah berpikir bahwa kesetiaan atau ketidaksetiaan kita kepada Tuhan bergantung kepada diri kita sendiri. Jika kita mempunyai tekad yang kuat, pastilah kita akan berhasil mempertahankan iman Kristen kita sampai akhir. Namun, jika kita berpikir seperti demikian sesungguhnya kita adalah orang yang sangat sombong dan perlu bertobat. Jikalau Petrus yang sudah sangat dekat dengan Tuhan Yesus dan yang pernah bertekad untuk rela mati bersama-sama Yesus saja masih bisa mengkhianati Tuhan, apalagi kita. Adalah ilusi jika kita pikir kita kuat dan seolah-olah bisa mengatur segalanya, termasuk kesetiaan kita kepada Tuhan. Sesungguhnya, jikalau Tuhan tidak menopang kita, tidak mungkin kita bisa setia kepada-Nya sampai mati.

Pada akhirnya kita disadarkan kembali bahwa kemampuan untuk bisa terus setia kepada Tuhan sampai akhir merupakan anugerah. Kesadaran ini seharusnya membuat kita hidup hari demi hari dengan kerendahan hati dan berdoa di hadapan Tuhan. Adalah satu hal untuk menjadi begitu menggebu-gebu pada awalnya dalam mengikuti dan melayani Tuhan. Namun, adalah hal lain untuk bisa TETAP setia sampai akhir hidup kita.

Biarlah dalam setiap momen, kita boleh memohon kepada Tuhan agar Dia selalu memegang tangan kita dan memampukan kita untuk setia kepada-Nya. Amin. [SI]