the enemy within

 

Bacaan: Hagai 1:1-15

Kitab Hagai menceritakan kisah bangsa Israel ketika mereka kembali dari pembuangan. Pada saat itu mereka diberikan mandat oleh Tuhan untuk membangun kembali Bait Allah yang sudah hancur. Namun, pada awalnya pekerjaan pembangunan Bait Allah tersebut terhambat karena ditentang oleh musuh Israel. Selang belasan tahun kemudian konflik dengan musuh tersebut mereda, sehingga saat itu tidak ada invasi, serangan, dan oposisi dari musuh. Dengan demikian, bangsa Israel pasti langsung lanjut mengerjakan mandat yang Tuhan berikan, bukan? Seharusnya seperti itu, tetapi fakta yang terjadi adalah Bait Allah masih tidak dibangun. Di sini kita belajar bahwa sekarang yang menjadi musuh bukanlah bangsa sekitar, melainkan diri orang Israel sendiri. Begitu pula dengan kehidupan orang Kristen; sering kali kita menanggap bahwa yang di luarlah yang menghancurkan kekristenan, tetapi justru yang sering kali menghancurkan adalah dari dalam diri sendiri.

Saat ini kekristenan di Indonesia mungkin belum ada oposisi dari luar yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan kekristenan di Tiongkok atau di negara-negara Timur Tengah. Apalagi dalam kehidupan anak-anak muda Kristen: kita masih dapat bergereja setiap hari Minggu dengan damai, bukan? Kita masih bisa melakukan penginjilan dengan cukup bebas, bukan? Dan tentunya kita masih bisa membaca Alkitab setiap hari dengan sangat bebas tanpa perlu sembunyi-sembunyi, bukan? Namun, apa yang terjadi? Ketika bisa bergereja, kita memilih untuk tidak pergi, karena masih ada tugas, proyek, atau bisnis yang tidak bisa dtinggalkan. Ketika bisa melakukan penginjilan, kita menunda-nunda karena pikirnya besok-besok masih bisa penginjilan. Ketika bisa membaca Alkitab, kita lebih memilih untuk menghabiskan waktu kita dalam pekerjaan lain yang lebih tidak membosankan. Bukankah semua alasan ini bersifat egosentris? Bukankah diri kita sendiri yang menghalangi pertumbuhan kekristenan, baik secara pribadi maupun secara komunal?

Tuhan menegur bangsa Israel karena mereka sibuk membangun rumah mereka sendiri, tetapi rumah Tuhan dibiarkan sebagai reruntuhan. Kita pun juga demikian, sibuk membangun studi, pekerjaan, dan keluarga kita, sehingga pekerjaan Tuhan terbengkalai. Ketika kita hanya sibuk dengan ambisi pribadi kita, sesungguhnya kita sedang merusak diri sendiri dan kekristenan. Jadi, siapa musuh yang paling berbahaya bagi kekristenan? Biarlah kita senantiasa meminta Tuhan untuk menyelidiki hati kita dan berjuang untuk hidup kudus bagi Kristus. (SI)