Sering kali, kita perlakukan doa bagaikan sebuah tombol “go”, hanya dibutuhkan untuk memulai sesuatu, namun akan ditinggalkan setelahnya. Apalagi ketika kita ingin makan. Tak jarang setelah selesai makan, kita tidak ingat lagi apakah kita sudah berdoa atau belum. Ya, kita seharusnya sudah berdoa, tetapi terkadang entahlah. Doa sering kali hanya menjadi sebuah kebiasaan yang otomatis dan tak ada maknanya. Bagaikan sebuah robot yang melakukan semuanya tanpa nyawa dan jiwa.
Mengapa doa kita sering kali rasanya begitu monoton dan kering? Karena doa kita hanya berurusan soal kepentingan kita sendiri. Kita tidak melihat relasi kita dengan Tuhan ataupun kehendak-Nya atas hidup kita. Doa bagi kita hanya menjadi sebatas kewajiban yang dibiasakan sehingga kehilangan esensi terdalamnya. Namun sesungguhnya berdoa adalah sebuah kesempatan yang sangat berharga, kesempatan yang hanya dimiliki oleh orang Kristen (privilege) untuk bertemu dan berelasi kepada Tuhan Allah Pencipta langit dan bumi. Mari kita melihat kembali beberapa esensi dari doa.
Pertama, doa merupakan kesempatan kita sebagai orang Kristen untuk berelasi kepada Tuhan, yang menciptakan langit dan bumi, yang jauh melebihi diri kita. Ketika Allah membebaskan Israel dari perbudakan di Mesir, mereka dipanggil untuk beribadah kepada-Nya (Kel. 4:22-23). Ibadah kepada Allah menjadi kesempatan yang begitu berharga bagi orang Israel, dan puncak dari ibadah ini adalah relasi dengan Allah. Ketika Tuhan Yesus menebus kita dan membebaskan kita dari kuasa dosa, relasi kita dengan Allah dipulihkan. Kita dimampukan kembali untuk berelasi dengan Allah yang suci dan Allah yang suci itu pun rela mendengarkan kita manusia yang berdosa melalui doa. Allah rela dihampiri oleh manusia berdosa yang najis.
Kedua, dalam doa kita belajar melihat pekerjaan Allah yang besar, yang jauh melampaui keinginan kita. Sering kali kita gagal dalam mendoakan apa yang menjadi pekerjaan Allah, bahkan gagal dalam menggumulkan posisi kita dalam menjalankan kehendak-Nya. Sebaliknya kita berdoa untuk apa yang kita ingini, baik itu bisnis yang lancar, atau nilai yang bagus. Padahal kita tahu, bahwa pekerjaan Tuhan jauh lebih besar daripada permasalahan kita secara individu. Ketika kita sungguh-sungguh memiliki hati untuk mendoakan pekerjaan Tuhan, kita pun akan mulai mementingkan kehendak Tuhan daripada diri sendiri, sehingga kita mulai sadar akan tugas panggilan yang seharusnya kita lakukan sebagai bagian dari rencana-Nya yang kekal.
Ketiga, doa merupakan salah satu wadah yang Tuhan sediakan bagi umat-Nya untuk bersandar dan berharap kepada-Nya. Dalam penginjilan atau pelayanan, kita tiba-tiba bisa down. Mungkin kita ditolak atau dihadapkan dengan tekanan sosial. Maka di sini, doa merupakan suatu wadah yang Tuhan berikan kepada kita untuk berharap kepada-Nya. Bukan supaya masalah kita selesai atau jadi beres, tetapi agar kita tetap setia menjalankan tugas kita kepada Tuhan. Kita manusia yang lemah, tetapi Tuhan yang menopang kita adalah Allah yang tidak terbatas. Yesaya dalam 70 tahun pelayanannya tidak pernah didengar oleh siapa pun ketika ia meneriakkan berita pertobatan dari Allah. Dia kemudian berdoa bukan untuk didengar, melainkan supaya dia dapat tetap setia kepada Tuhan. Ketika kita berpikir bahwa keadaan sudah pada ujung tanduk, mari kita memohon kepada Tuhan, “Ya Tuhan tolong ajarilah kami untuk tetap setia melayani-Mu.”
Doa bukan rutinitas orang Kristen yang pasif dan mati. Orang Kristen adalah umat Tuhan yang diberikan kesempatan khusus untuk berelasi dengan-Nya, melihat pekerjaan-Nya yang besar, dan berharap kepada-Nya. Ketika berdoa, mari kita belajar untuk benar-benar mendalami doa kita sebagaimana Tuhan menginginkan kita berdoa, bukan untuk mementingkan diri kita sendiri, melainkan dengan hati yang terus tertuju kepada Tuhan agar seluruh kehendak-Nya yang boleh terjadi melalui hidup dan mati kita. (HS)