Devotion from 1 Raja-raja 20:23-34
Raja Aram melarikan diri karena prajuritnya dibantai oleh Israel. Tetapi dia mendapatkan nasihat dari pegawai-pegawainya yang memberikan pendapat ahli mengenai perang dengan Israel. Mereka mengamati bahwa kemenangan Israel ini adalah kemenangan yang berbau supernatural. Israel tidak lebih baik dalam taktik dan senjata, dan mereka sangat sedikit di dalam jumlah. Jadi bagaimana mungkin Israel menaklukkan pasukan Benhadad? Bagaimana mungkin jumlah kecil seperti itu mengusir Benhadad sehingga dia harus melarikan diri dari peperangan jika dia tidak mau terbunuh. Maka mereka mengambil kesimpulan bahwa tentulah ini pekerjaan Allah. Mengapa Allah ini bisa sangat kuat sehingga dewa-dewa Aram tidak ada yang sanggup menolong Aram untuk bertahan terhadap serangan Tuhan? Karena, menurut mereka, Tuhan adalah Allah gunung. Mereka salah karena mereka bertarung di gunung, yaitu di tempat kekuasaan Tuhan. Mungkin mereka mengingat sejarah mengenai turunnya hukum Tuhan di gunung Sinai, maupun pameran api yang turun dari langit di gunung Karmel. Maka mereka telah membuat rancangan perang yang berikut, yaitu berperang di tanah datar. Di tanah datar Tuhan akan kehilangan kekuasaan dan karena itu mereka dapat menaklukkan Israel. Lihatlah betapa bodohnya pola pikir para penyembah berhala! Siapakah yang menciptakan gunung dan seluruh daratan? Tuhan. Siapakah yang menciptakan laut dan segala isinya? Tuhan. Siapakah yang menciptakan bintang-bintang dan seluruh benda langit? Tuhan. Jadi dari manakah sumber bahwa Tuhan adalah dewa gunung? Bukan dari sumber asli, yaitu firman Tuhan. Mereka terjebak di dalam pola pikir yang memutlakkan diri tetapi tidak menyelidiki apakah pola pikir itu sesuai kenyataan yang sebenarnya atau tidak. Mereka akan belajar dengan cara yang sangat berat bahwa Allah ternyata juga adalah Allah daratan yang rata.
Ayat 28 mengatakan bahwa Tuhan akan menyerahkan orang Aram ke tangan orang Israel karena orang Aram menganggap bahwa Dia hanya berkuasa atas gunung. Ratusan ribu tentara Aram yang siap berperang akhirnya dihantam oleh pasukan Israel. Bahkan ayat 29 mengatakan bahwa 100 ribu tentara Aram tewas dalam pertempuran itu. Sisanya melarikan diri ke Afek, tetapi tembok kota itu tiba-tiba runtuh menimpa mereka sehingga ada 27 ribu orang mati. 127 ribu tentara tewas dalam pertempuran itu. Inikah kuasa dari Allah pegunungan? Ternyata di tanah datar pun Dia tetap menang. Mengapa? Karena bumi dan segala isinya diciptakan dan dimiliki oleh Dia. Tuhan hendak menyatakan diri, baik kepada Israel maupun kepada Aram, bahwa Dialah Allah yang berkuasa atas segala sesuatu. Tetapi bagian selanjutnya mengatakan bahwa raja Aram dan pegawai-pegawainya yang masih hidup melarikan diri dari satu kota ke kota yang lain untuk menyelamatkan nyawa mereka. Lalu mereka mencoba meminta belas kasihan orang-orang Israel dengan memohon supaya mereka diampuni. Celakanya adalah Ahab mendengarkan permohonan itu. Ahab mengatakan bahwa dia akan membiarkan hidup Benhadad, saudaranya itu. Dia mengikat perjanjian damai yang menguntungkan Israel dengan Benhadad. Inilah keahlian politik Ahab. Menjalin relasi dan lebih memilih jalan damai dan negosiasi ketimbang perang. Tetapi apakah ini cara Allah? Ternyata tidak. Tuhan memberikan kemenangan kepada Israel agar Benhadad ditumpas. Tuhan ingin menghukum raja yang kejam ini. Tetapi dia luput dari hukuman karena Ahab lebih memilih menjalin relasi politik dengan Benhadad. Inilah kejatuhan Ahab yang menambah daftar dosanya yang sebelumnya sudah sangat banyak. Kita akan merenungkan beberapa hal mengenai sifat Ahab yang sepertinya baik tetapi sebenarnya sangat dibenci oleh Tuhan.
Ahab merangkul rakyat dengan memberikan kepada mereka agama yang mereka sukai, yaitu menyembah Baal. Tetapi ini sangat menyakiti hati Tuhan. Seorang raja seharusnya menjadi wakil Allah yang juga mengarahkan seluruh rakyat kepada Allah. Raja memimpin rakyat demi damai sejahtera yang sejati. Jika raja diatur oleh rakyat, maka sebenarnya dia sedang menjerumuskan rakyatnya sendiri. Apakah gunanya seseorang diterima dengan baik oleh orang lain jika dia dibenci oleh Tuhan? Bukankah lebih baik kalau dia diperkenan oleh Tuhan agar dia dapat mengarahkan orang lain untuk juga diperenan oleh Tuhan? Rakyat Israel tidak perlu terus menerus didengar. Rakyat Israel perlu dibimbing untuk mengenal Allah yang sejati. Ahab bertindak seperti orang tua yang bodoh, yang mendengarkan semua permintaan anaknya sehingga akhirnya menjerumuskan anaknya ke dalam kehidupan yang makin rusak. Tetapi orang bijak tidak begitu. Dia akan mengarahkan hati anak-anaknya untuk mengarah kepada kebenaran, kebajikan, dan bijaksana sejati, yaitu hanya di dalam takut akan Tuhan. Daud bukanlah orang yang diatur oleh rakyatnya, tetapi dia menunjukkan teladan hidup bagi Tuhan dengan cara yang berkenan kepada Tuhan. Itulah sebabnya dia bisa diperkenan oleh rakyatnya juga. Biarlah kita tidak jatuh ke dalam dosa Ahab. Biarlah kita mempunyai perasaan takut akan Tuhan yang jauh lebih besar daripada rasa takut akan manusia. Biarlah kita rindu diperkenan Tuhan jauh melebihi kerinduan kita untuk diperkenan oleh manusia.Ahab tidak menyadari ketika dia sedang diberkati oleh Tuhan. Kemenangan Ahab atas Benhadad adalah kemenangan yang mustahil. Tidak mungkin tentara Ahab dapat meraih kemenangan spektakuler seperti ini. Tetapi segera setelah kemenangan diraih, Ahab langsung lupa siapa yang memberikannya kepada dia. Dia segera mengambil inisiatif untuk mengampuni Benhadad dan menjalin relasi dengan dia. Dia lupa untuk datang menghadap Tuhan dan mengucap syukur kepada Dia dengan hati yang penuh dengan takut dan gentar. Ahab tidak merasa bahwa apa yang diterimanya adalah sesuatu yang luar biasa. Dia merasa bahwa sudah sewajarnya dia mendapatkan apa yang telah dia raih. Tetapi ini tidak benar. Dia tidak seharusnya mendapatkan kemenangan ini. Ketidakmampuan Ahab untuk menghitung berkat membuat dia sangat sulit untuk bertobat dan menyembah Tuhan dengan segenap hati. Bagaimana dengan kita sekalian? Jika Tuhan telah mengerjakan pekerjaan yang besar dan boleh kita nikmati, yang manakah yang menjadi respons kita? “Ya, memang sudah sewajarnya saya boleh menikmati ini…” atau “Siapakah saya sehingga boleh mendapatkan kelimpahan anugerah seperti ini? Tuhan sudah memberi terlalu banyak, tetapi Dia masih mau menambah lagi dengan ini dan itu… sungguh saya tidak layak”? Respons yang kedua adalah respons Daud (2Sam. 7:18-20). Yang pertama adalah tipikal respons orang-orang seperti Ahab. Betapa jahatnya orang-orang yang tidak tahu bagaimana bersyukur kepada Tuhan. Orang-orang ini terus merasa diri layak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Tetapi sebenarnya tidak demikian. Kita tidak berhak diampuni dan dipelihara oleh Tuhan. Kita hanya layak dibinasakan karena dosa-dosa kita. Tetapi Tuhan memilih untuk menyelamatkan kita, dan seolah masih belum cukup, Dia memelihara iman kita dan memberikan pertumbuhan rohani melalui firman-Nya kepada kita. Layakkah kita? Tidak. Sungguh besar anugerah Tuhan bagi kita!Ahab bertindak seperti orang yang berhak memutuskan nasib musuh Tuhan, yaitu Benhadad. Lihatlah betapa arogan Ahab sudah bertindak. Dia merasa dia berhak menentukan akan menjadi sahabat atau hakim yang harus menghakimi Benhadad. Dia memilih untuk menjadikan Benhadad sahabat. Ini adalah tindakan yang sungguh di luar porsi. Ahab adalah pelaksana kehendak Allah, bukan pembuat kebijakan. Allah adalah yang membuat rancangan, sedangkan umat-Nya harus hidup di dalam rancangan itu. Kita tidak mungkin membuat kebijakan, karena Tuhan belum percayakan kita hingga sejauh itu. Tetapi kita tetap adalah pelaksana yang tunduk kepada kebijakan yang telah dibuat. Ahab tidak seharusnya mengampuni Benhadad. Allah mau Benhadad dihukum. Bayangkan betapa murka hati Tuhan melihat tangan kanan-Nya untuk menghukum Benhadad malah sekarang berjabatan dengan Benhadad. Tetapi inilah yang terjadi. Ahab mengasihani siapa yang mau dia kasihani. Dia lupa bahwa yang berhak memutuskan itu adalah Tuhan. Dia bukan Tuhan! Kehidupan kita sebagai orang Kristen pun sama. Kita sering kali menjalani “takhta” hidup kita dengan sembarangan. Kita kerjakan apa yang kita mau, kapan kita mau, dan bagaimana kita mendapatkannya. Kita lupa bahwa Tuhan bukan saja penebus jiwa, tetapi Dia juga adalah yang memegang kuasa atas hidup kita. Dia memberikan pemeliharaan untuk satu sasaran yang jelas, yaitu kehendak-Nya dijalankan. Ahab gagal karena dia merasa dialah yang duduk di takhta hidupnya, bukan Tuhan. Tetapi kita tidak akan gagal jika kita merasa Dialah yang duduk di takhta hidup kita, dan bukan lagi diri kita sendiri.