Tidak ada yang suka menderita. Kalau perlu kita akan berusaha agar
kamus “penderitaan” itu pergi jauh-jauh dari kehidupan kita; entah itu
penderitaan fisik, mental, dan sebagainya. Celakanya, sejak kejatuhan
manusia ke dalam dosa, manusia tidak bisa lepas dari penderitaan.
Penderitaan menjadi akrab dalam kehidupan manusia, suka atau tidak suka;
diundang ataupun tidak. Oleh karena kita tidak bisa menghindar dari
penderitaan, maka yang menjadi kunci dalam kita menghadapi penderitaan
adalah bagaimana kita bersikap atau berespons terhadap penderitaan
tersebut.
Di dalam dunia yang berdosa ini, penderitaan bisa bersumber dari berbagai hal; bisa karena kebodohan kita sendiri, bisa karena kebodohan atau maksud jahat orang lain, bisa karena bencana alam, bisa karena Allah mengizinkan Iblis mencobai umat-Nya, atau bisa juga sebagai orang Kristen kita menderita karena iman kita kepada Kristus. Apa pun penyebabnya, kita tahu bahwa Allah berdaulat atas semua penderitaan itu dan Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Rm. 8:28).
Bagaimana kita berespons terhadap penderitaan, itu akan sangat memengaruhi bagaimana selanjutnya kita hidup. Ada seorang bernama Victor Frankl, seorang psikolog Yahudi, yang menjadi seorang tahanan di dalam kamp konsentrasi bagi orang Yahudi selama Perang Dunia II. Selama ia bertahan hidup di dalam tahanan yang mengerikan tersebut, Frankl mulai mengamati teman-temannya di penjara dan pengharapan macam apa yang ada pada mereka. Dia ingin menemukan mekanisme apa yang dapat menolong mereka bertahan dalam keadaan sedemikian menderita seperti itu. Frankl kemudian menemukan bahwa mereka yang tidak dapat menerima kenyataan yang terjadi, dan yang tidak dapat menyesuaikan diri dalam penderitaan yang sedang mereka hadapi dengan iman mereka, atau yang tidak dapat menemukan arti penderitaan di dalam cara pandang mereka, akan menjadi putus asa, kehilangan harapan, lalu menyerah, dan mati. Sebaliknya mereka yang menemukan arti dari iman mereka dan kemudian menemukan pengharapan di masa yang akan datang, yang melampaui penderitaan mereka sekarang, akan dapat menerima dan bertahan terhadap keberadaan mereka yang sedang dalam penderitaan tersebut. Orang-orang seperti inilah yang kemudian dapat bertahan hidup.
Bagaimana dengan kita? Setiap orang memiliki pengalaman penderitaan dengan berbagai derajat masing-masing. Tapi ingatlah, bahwa Allah sungguh tidak pernah meninggalkan kita. Penebusan Kristus di atas kayu salib memastikan kita untuk memiliki pengharapan yang pasti di dalam Dia. Pengharapan untuk hidup kekal yang sudah disediakan bagi kita kelak ketika kita bertemu dengan Dia, di mana di sana tidak lagi ada air mata dan ratap tangis.
Mari jangan berhenti berharap. Pandanglah kepada Yesus. Isi dunia menjadi suram oleh sinar kemuliaan-Nya.
Di dalam dunia yang berdosa ini, penderitaan bisa bersumber dari berbagai hal; bisa karena kebodohan kita sendiri, bisa karena kebodohan atau maksud jahat orang lain, bisa karena bencana alam, bisa karena Allah mengizinkan Iblis mencobai umat-Nya, atau bisa juga sebagai orang Kristen kita menderita karena iman kita kepada Kristus. Apa pun penyebabnya, kita tahu bahwa Allah berdaulat atas semua penderitaan itu dan Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Rm. 8:28).
Bagaimana kita berespons terhadap penderitaan, itu akan sangat memengaruhi bagaimana selanjutnya kita hidup. Ada seorang bernama Victor Frankl, seorang psikolog Yahudi, yang menjadi seorang tahanan di dalam kamp konsentrasi bagi orang Yahudi selama Perang Dunia II. Selama ia bertahan hidup di dalam tahanan yang mengerikan tersebut, Frankl mulai mengamati teman-temannya di penjara dan pengharapan macam apa yang ada pada mereka. Dia ingin menemukan mekanisme apa yang dapat menolong mereka bertahan dalam keadaan sedemikian menderita seperti itu. Frankl kemudian menemukan bahwa mereka yang tidak dapat menerima kenyataan yang terjadi, dan yang tidak dapat menyesuaikan diri dalam penderitaan yang sedang mereka hadapi dengan iman mereka, atau yang tidak dapat menemukan arti penderitaan di dalam cara pandang mereka, akan menjadi putus asa, kehilangan harapan, lalu menyerah, dan mati. Sebaliknya mereka yang menemukan arti dari iman mereka dan kemudian menemukan pengharapan di masa yang akan datang, yang melampaui penderitaan mereka sekarang, akan dapat menerima dan bertahan terhadap keberadaan mereka yang sedang dalam penderitaan tersebut. Orang-orang seperti inilah yang kemudian dapat bertahan hidup.
Bagaimana dengan kita? Setiap orang memiliki pengalaman penderitaan dengan berbagai derajat masing-masing. Tapi ingatlah, bahwa Allah sungguh tidak pernah meninggalkan kita. Penebusan Kristus di atas kayu salib memastikan kita untuk memiliki pengharapan yang pasti di dalam Dia. Pengharapan untuk hidup kekal yang sudah disediakan bagi kita kelak ketika kita bertemu dengan Dia, di mana di sana tidak lagi ada air mata dan ratap tangis.
Mari jangan berhenti berharap. Pandanglah kepada Yesus. Isi dunia menjadi suram oleh sinar kemuliaan-Nya.