sentralitas salib

Bagi orang-orang bekerja di perkantoran, farewell party dalam bentuk lunch atau dinner adalah hal yang makin sering terjadi karena di zaman ini rata-rata masa orang bekerja hanya satu sampai dua tahun. Pindah kantor, yang menyebabkan harus pindah kota, juga menyebabkan seseorang mengadakan farewell bersama dengan teman-teman yang menghabiskan banyak waktu bersama, seperti teman kos, rekan-rekan persekutuan, atau klub hobi tertentu.
Apakah yang kita lakukan saat menghadiri farewell? Bagaimanakah perasaan kita saat kita tahu kita akan berpisah dengan orang yang kita kasihi? Ya mungkin di zaman sekarang dengan teknologi yang canggih, kita tidak akan terlalu mempersoalkan hal tersebut. Toh setelah berpisah masih ada berbagai macam media yang bisa mendekatkan yang jauh. Tetapi pertanyaannya adalah bagaimana kalau kita tahu, bahwa kita akan berpisah dengan kondisi di mana kita mungkin tidak dapat berkomunikasi lagi? Pasti kita akan menggarisbawahi hal-hal yang terpenting yang mau kita sampaikan kepada orang-orang yang akan meninggalkan atau ditinggalkan.
Pada malam terakhir Yesus berada di dunia, ia memilih untuk menghabiskan waktu bersama dengan murid-murid-Nya. Malam itu adalah malam pertama hari perayaan Roti Tidak Beragi. Mereka bersama-sama berkumpul di rumah seorang kenalan. Tempat itu digambarkan sebagai “ruang atas yang yang besar, yang sudah lengkap dan tersedia”. Alkitab mencatat bahwa Yesus senantiasa mengasihi murid-murid-Nya, dan pada saat itu pun Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahan-Nya.
Saat perjamuan makan masih berlangsung, para murid memandang Yesus yang mengambil roti, mengucap syukur, memecahkannya menjadi potongan-potongan, dan membagikannya kepada mereka dengan kata-kata: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan aku.” Dengan cara yang sama, setelah mereka makan, Ia mengambil cawan anggur, mengucapkan syukur, memberikannya kepada mereka dan mengatakan: “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku; perbuatlah ini setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!”
Apa yang baru saja Yesus lakukan adalah perbuatan yang sungguh luar biasa. Perkataan yang Ia sampaikan di dalam acara “farewell party” itu merupakan petunjuk yang penting bagi Yesus tentang kematian-Nya. Yesus sedang mendramatisasi kematian-Nya dalam perbuatan-Nya melalui roti dan anggur. Yesus memberikan instruksi teknis yang jelas: dengan perkataan “perbuatlah ini” sebagai cara mengenang diri-Nya dan “setiap kali” untuk dilakukan berkali-kali.
Malam itu Yesus sedang mengajarkan kepada murid-murid-Nya bahwa roti yang dipecah dan anggur yang tercurah melambangkan tubuh dan darah-Nya yang segera “diberikan” kepada mereka melaui kematian-Nya. Malam itu, Yesus tidak mendramatisasi kelahiran-Nya, bukan kehidupan-Nya, bukan pula perkataan-perkataan-Nya, mujizat-mujizat-Nya, atau karya-karya-Nya lainnya. Malam itu, Yesus ingin murid-murid-Nya mengingat akan kematian-Nya. Tidak ada petunjuk yang lebih jelas selain bahwa Yesus menempatkan kematian-Nya sebagai hal sentral.
Inilah salah satu alasan mengapa salib adalah simbol kekristenan. Melalui perenungan singkat ini, kita bisa merefleksikan sejenak bahwa inti dari kekristenan adalah salib. Tidak ada kekristenan tanpa salib. Jika salib tidak sentral bagi kekristenan kita, mungkin kita perlu meragukan kekristenan kita. Masih ada begitu banyak aspek yang dapat kita gali saat kita merenungkan salib. Kiranya hati kita dapat terdorong untuk lebih menggali makna salib dan membawa kita makin merenungkan artinya.