Kata “kangen” pasti sudah tidak asing lagi bagi kita dan setiap kita pasti pernah mengalaminya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan kangen sebagai ingin sekali bertemu atau rindu; yaitu suatu perasaan rindu yang mendalam kepada seseorang atau sesuatu yang sudah lama tidak ditemui.
Ketika kita merantau ke kota lain atau ke negeri lain setelah sekian lama, maka ketika pulang kampung kita akan kangen dengan makanan khas daerah kita, atau kita juga bisa kangen bertemu teman-teman sekolah kita yang dahulu, atau kita juga kangen dengan orang-orang yang kita kasihi, dan sebagainya. Namun setelah kita makan makanan yang kita kangenkan itu sebanyak 10 kali, masihkah kita kangen? Setelah kita bertemu dengan teman-teman lama kita dan menghabiskan waktu ngobrol berminggu-minggu, masihkah kita kangen? Ketika kita setiap waktu bersama dengan orang yang kita kasihi, masihkah kita kangen? Kangen ternyata bisa lenyap begitu saja setelah frekuensi akan sesuatu atau orang yang kita kangeni itu menjadi sering kita dapati. Bahkan kita cenderung muak bukan apabila setiap hari selama 30 hari disuguhi makanan itu lagi dan itu lagi. Padahal makanan itu adalah makanan yang kita tadinya sangat kangeni. Mengapa bisa demikian? Ketika kangen kita hanya didasarkan atas hal-hal yang sementara, maka rasa kangen itu akan bersifat sementara. Dari yang tadinya rasa kangen, kita bisa berubah menjadi bosan, dan kemudian menjadi muak.
Di sisi yang lain, tengoklah orang yang sedang jatuh cinta. Nyaris setiap detik dia kangen pacarnya. Padahal baru lima menit yang lalu mereka bertemu. Baru berpisah sementara waktu sudah dirasakan seperti berabad-abad lamanya. Mengapa bisa demikian? Karena cinta.
Pertanyaannya adalah apakah kita pernah kangen dengan Allah? Seberapa dalam kita kangen kepada Allah? Saat baru bertobat, rasanya kita rindu sekali bercakap-cakap dengan Tuhan. Kita merasakan cinta-Nya yang ajaib, yang rela menyerahkan Anak-Nya yang Tunggal mati di atas kayu salib menebus dosa-dosa kita. Kita pun merasakan bahwa kita sungguh mau belajar mencintai Dia.
Tetapi ketika tarikan dunia begitu kencang, tawaran untuk bisa lebih kaya, bisa lebih terkenal, bisa lebih sukses, bisa lebih ini dan itu yang kita anggap lebih menguntungkan kita, maka rasa kangen kita kepada Allah lama-kelamaan menjadi luntur. Bahkan kini waktu doa yang merupakan saat kita bisa curhat dengan Allah, kita anggap sebagai pengganggu hidup kita. Cinta kita sudah berpindah kepada yang lain. Itu sebabnya kita tidak lagi kangen dengan Allah.
Saat ini ketika membaca tulisan ini, adakah kita masih memiliki rasa kangen kepada Allah? Bila rasa itu telah luntur, mari kita bertobat dan kembali kepada Allah. Sesungguhnya, cinta yang sejati tidak akan pernah melunturkan rasa kangen.