Pada masa kecil kita, mungkin kita diajarkan bagaimana mempraktikkan
budaya dan norma yang baik. Sopan, rendah hati, rajin, suka memberi,
silakan sebutkan! Kita sudah hafal di luar kepala segala nilai-nilai
yang baik ini. Dan sebagai seorang anak kecil, kita melakukan hal-hal
tersebut untuk mendapat validasi dari orang-orang di sekitar kita.
Seiring berjalannya waktu, di masa remaja, kita mulai berpikir: Untuk apa? Untuk apa saya berusaha menyenangkan orang lain? Apa untungnya bagi saya? Dan kita pun mulai memikirkan masa depan dan kebutuhan kita sebagai seorang manusia. Di tahap inilah yang namanya personality dan cita-cita mulai terbentuk dengan rasional. Tetapi salah satu efek sampingnya adalah hilangnya kegelisahan kita ketika melanggar budaya dan norma, dan kebanggaan kita ketika menyenangkan orang lain pun lenyap.
Ketika kita dianugerahkan kesempatan untuk mendengar firman Tuhan, memasuki usia pemuda, kita diajak kembali merefleksikan nilai-nilai yang sudah kita lupakan. Barulah kita sadar bahwa budaya dan norma yang diajarkan saat kita kecil bersumber daripada the “Benevolent and Righteous God”, Tuhan Allah kita yang Mahabesar. Bukan sembarangan ada “dari sananya” di dunia.
Ketika kita belajar mengenal Tuhan Allah kita sebagai pribadi, sifat-sifat-Nya, dan mengenal diri sendiri, lalu belajar mempraktikkannya dalam relasi dengan sesama, inilah saat-saat di mana kebenaran firman Tuhan yang kita dengar bukan sebagai informasi belaka, melainkan kebenaran yang menguasai seluruh hidup kita.
Tetapi bahkan ketika mengatakan kalimat tersebut, terkadang kita masih menjadikannya sebagai informasi. Dalam bukunya J. I. Packer mengelaborasikan 3 aspek dalam berkontemplasi:
1. Meditate on the truth.
2. Meditate on our lives, terutama keberdosaan kita.
3. Menyerahkan keberdosaan kita pada Tuhan dan memohon untuk mengubahkan kita.
Mari kita merefleksikan ulang hidup kita, nilai-nilai yang kita dapatkan, dan nilai-nilai yang kita lupakan.
Seiring berjalannya waktu, di masa remaja, kita mulai berpikir: Untuk apa? Untuk apa saya berusaha menyenangkan orang lain? Apa untungnya bagi saya? Dan kita pun mulai memikirkan masa depan dan kebutuhan kita sebagai seorang manusia. Di tahap inilah yang namanya personality dan cita-cita mulai terbentuk dengan rasional. Tetapi salah satu efek sampingnya adalah hilangnya kegelisahan kita ketika melanggar budaya dan norma, dan kebanggaan kita ketika menyenangkan orang lain pun lenyap.
Ketika kita dianugerahkan kesempatan untuk mendengar firman Tuhan, memasuki usia pemuda, kita diajak kembali merefleksikan nilai-nilai yang sudah kita lupakan. Barulah kita sadar bahwa budaya dan norma yang diajarkan saat kita kecil bersumber daripada the “Benevolent and Righteous God”, Tuhan Allah kita yang Mahabesar. Bukan sembarangan ada “dari sananya” di dunia.
Ketika kita belajar mengenal Tuhan Allah kita sebagai pribadi, sifat-sifat-Nya, dan mengenal diri sendiri, lalu belajar mempraktikkannya dalam relasi dengan sesama, inilah saat-saat di mana kebenaran firman Tuhan yang kita dengar bukan sebagai informasi belaka, melainkan kebenaran yang menguasai seluruh hidup kita.
Tetapi bahkan ketika mengatakan kalimat tersebut, terkadang kita masih menjadikannya sebagai informasi. Dalam bukunya J. I. Packer mengelaborasikan 3 aspek dalam berkontemplasi:
1. Meditate on the truth.
2. Meditate on our lives, terutama keberdosaan kita.
3. Menyerahkan keberdosaan kita pada Tuhan dan memohon untuk mengubahkan kita.
Mari kita merefleksikan ulang hidup kita, nilai-nilai yang kita dapatkan, dan nilai-nilai yang kita lupakan.