Ketika mendengar kata “penderitaan” kita pasti langsung menolak, “Tidak..tidak.. saya tidak ingin menderita!” Setiap orang tidak ingin menderita. Setiap orang cenderung ingin hidup bahagia. Tidak sedikit orang yang ketika diperhadapkan dengan kesulitan, akan mengatakan “jangan rasakan sakitnya, kalau tidak dirasakan maka sakit itu tidak akan ada.” Atau “jangan rasakan penderitaannya, maka penderitaan itu tidak ada.” Hal demikian dilakukan oleh banyak orang untuk menipu diri mereka dengan meniadakan penderitaan. Bahkan di saat ini, kita juga sering mendengar banyak orang mengatakan, “Ikutlah Tuhan maka engkau akan sukses, kaya raya, dan apa pun yang engkau lakukan akan senantiasa diberkati.” Semua ini dilakukan untuk menyenangkan hati manusia. Oleh karena itu, mereka terus diberikan kalimat-kalimat yang menyenangkan untuk didengar tetapi belum tentu sesuai dengan firman Tuhan. Seorang pendeta, John Piper, menulis sebuah artikel mengenai penderitaan. Ia mengatakan bahwa setiap orang Kristen dipanggil untuk menderita. Ya, setiap orang Kristen memiliki panggilan untuk menderita. Sesungguhnya apakah yang Alkitab katakan tentang penderitaan? Bagaimanakah penderitaan itu dapat mendatangkan sebuah sukacita bagi orang Kristen?
Setiap tahun kita memperingati hari Jumat Agung dan Paskah, yaitu hari di mana kita kembali diingatkan akan Tuhan kita Yesus Kristus, yang mati di kayu salib dan bangkit untuk menggenapi rencana Allah Bapa, yaitu menebus dosa manusia. Kita akan merenungkan hari-hari sebelum Yesus naik ke atas kayu salib. Di dalam Markus 14:32-42 dicatat bahwa Yesus pergi ke suatu tempat yaitu Taman Getsemani, untuk berdoa sebelum Ia ditangkap dan disalibkan. Melalui doa Yesus, kita dapat mengerti akan penderitaan Yesus ketika hendak disalibkan. Di ayat 33 dikatakan, “Ia sangat takut dan gentar”. Kata yang dipakai adalah ekthambeisthai. Kata ini digunakan untuk menunjukkan suatu hal yang luar biasa gelap di dalam suatu kegelapan yang amat sangat. Kegelapan ini adalah kegelapan yang pernah juga dialami oleh Abraham (Kej. 15:12). Ini adalah kegelapan yang begitu mengerikan yang harus dialami oleh Yesus. Selain itu di ayat 34 Yesus mengatakan, “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya.” Ia telah dibuat menjadi dosa karena kita. Ia mengenal keganasan dosa sehingga Ia merasa sangat sedih. Ia sedih karena Ia memiliki kasih yang amat mendalam dan sempurna kepada Allah, namun telah tersakiti oleh dosa. Ia juga sedih karena memiliki kasih kepada umat manusia yang telah dirusak dan dibahayakan oleh dosa. Ketika hal itu harus diperhadapkan dengan-Nya, hati-Nya begitu sedih. Ia dibebani oleh karena dosa kita. Ia disusahkan oleh karena kesalahan kita.
Ia menjadi kutuk karena kita. Seluruh penghukuman dosa kita dilimpahkan kepada-Nya. Ia mau menjadi tebusan atas perbuatan kita. Ia merasakan maut (Ibr. 2:9) dan meminum cawan penderitaan itu hingga habis, bahkan sampai tetesan yang terakhir ketika Ia mati di kayu salib. Dengan memandang kepada penderitaan Kristus, kita dapat memahami bahwa setiap orang Kristen dipanggil untuk menjadi serupa dengan Kristus. Kita dipanggil untuk menanggung segala penderitaan yang harus dihadapi oleh setiap orang percaya. Dengan menyadari hal ini, seharusnya kita akan makin membenci dosa, dan penderitaan Kristus akan menjadi penghiburan bagi kita. Ketika orang Kristen dipanggil untuk menderita, ingatlah bahwa Kristus telah lebih dahulu menderita bagi kita. Oleh karena itu, mengapa kita harus mencoba lari dan mengusir kesedihan? Padahal demi kepentingan kita, Kristus justru menerimanya. Ia bukan hanya mencabut sengat kesedihan dan membuat kita bisa diterima oleh Bapa, tetapi Ia juga memberikan kebaikan kepada kita. Matthew Henry mengatakan, “rasa duka yang kita alami saat ini hanya berlangsung hingga kematian saja; kematian akan menjadi titik akhir dari dukacita kita, bila Kristus menjadi milik kita; ketika mata tertutup, segala air mata akan dihapuskan dari mata kita.” Kiranya kita terus mengarahkan pandangan kita kepada Kristus dan terus menaruh pengharapan kita kepada-Nya!