Devotion from 1 Samuel 9:1-24
Kitab 1 Samuel kini mengalihkan fokusnya kepada Saul, seorang yang akan menjadi raja pertama Israel. Sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya, Saul adalah raja pilihan Tuhan, tetapi dia dipilih berdasarkan kehendak orang Israel yang meminta raja. Tuhan memilih seorang yang akan memenuhi semua harapan mereka (lihat ay. l20), tetapi yang, sayangnya, akan gagal memenuhi harapan Tuhan (ay. 11). Saul adalah seorang yang berasal dari suku Benyamin, suku terkecil di Israel. Bahkan kaum keluarganya pun termasuk yang kecil di antara kaum-kaum suku Benyamin (ay. 21). Tuhan memanggil Saul dari latar belakang yang begitu tidak berarti. Allah mengambil apa yang dianggap kecil oleh dunia untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang besar. Allah memercayakan Saul apa yang sebenarnya terlalu mulia untuk dia dapatkan. Betapa sederhananya kehidupan Saul. Dia bahkan tidak mengikuti perkembangan politik yang terjadi di Israel. Dia bahkan tidak mengenal Samuel, hakim Israel pada waktu itu (lihat ay. 18 dan 19)! Begitu polos dan sederhana. Inilah kesan yang kita dapat mengenai Saul sebelum dia menjadi raja. Begitu licik dan gila kekuasaan. Inilah kesan setelah dia berkuasa sekian lama. Dikatakan bahwa ayah Saul, Kish, kehilangan beberapa ekor keledai betina. Saul ditugaskan untuk mencari keledai itu. Suatu pencarian yang akan berakhir dengan diurapinya Saul menjadi raja. Ketika harapan mencari keledai-keledai itu makin menipis, pembantu Saul menyarankan agar dia mencari seorang pelihat untuk menunjukkan di manakah keledai-keledai itu. Mereka mencari seorang pelihat dan ternyata pelihat itu adalah Samuel. Bagaimana mungkin mereka tidak tahu kalau itu adalah Samuel? Karena mereka hidup dengan tenang di rumah Kish tanpa terlibat sama sekali dengan segala kerumitan yang terjadi pada para petinggi Israel. Tetapi meskipun Saul hanyalah seorang sederhana yang tidak pernah terlibat di dalam kejadian-kejadian besar di Israel, Tuhan memilih untuk menghormati dia dengan mengangkat dia menjadi raja. Proses pengurapan Saul sebagai raja pun berlangsung dengan cara yang meninggikan Saul.
Lihatlah ayat 22! Samuel telah mengundang para tua-tua berjumlah sekitar 30 orang. Ayat 13 mengatakan semua undangan itu tidak akan mulai makan sebelum Samuel datang. Berarti mereka harus menantikan orang yang lebih terhormat dari mereka sendiri, yaitu Samuel, baru boleh makan. Tetapi semua orang-orang itu pasti heran melihat setelah Samuel datang pun perjamuan belum boleh dimulai. Lebih heran lagi karena Samuel mengosongkan tempat paling terhormat dan bahkan masih belum mengeluarkan makanan bagi tamu terhormat. Berarti masih ada tamu yang lebih hormat dari Samuel? Siapakah tamu itu? Maka masuklah Saul dengan tujuan cari keledai. Seorang desa mencari keledai tersesat di jamuan makan para petinggi! Lebih heran lagi karena ternyata seluruh petinggi harus tunggu anak desa ini karena dialah tamu terpenting acara pada waktu itu! Ayat 20 Samuel mengatakan kepada Saul untuk tidak merisaukan keledai-keledainya sebab ada hal lain yang lebih penting dari keledai-keledai itu? Hal apa? Hal diangkat menjadi raja Israel!
Betapa agung cara Tuhan bekerja! Seperti dalam puji-pujian Hana, Dia benar-benar mengangkat orang yang rendah dan mendudukkannya sebagai raja di Israel (1Sam. 2:8). Kisah-kisah seperti ini membuat kita makin mengenal kebaikan Tuhan. Siapakah Saul? Dia hanyalah seorang rendahan dari kaum yang kecil. Ayahnya mungkin cukup kaya, tetapi secara pengaruh di Israel dia sangat tidak berarti. Lalu apakah Tuhan tidak tahu kalau Saul mempunyai kecenderungan memberontak kepada Dia kalau sudah diangkat jadi raja? Tentu Tuhan tahu. Tetapi Tuhan tetap mau mengangkat dia yang rendah dan mendudukkan dia setara dengan para raja agung dalam sejarah. Dan bagaimanakah cara Tuhan mengangkat Saul? Pertama-tama Dia menggerakkan Samuel untuk mempromosikan Saul. Samuel begitu taat kepada Tuhan. Dia tidak membela diri dan membela anak-anaknya yang korup. Dia tidak gila kekuasaan. Samuel tidak seperti Saul ketika Saul sudah berkuasa. Samuel tidak mengatakan, “kepada aku diperhitungkan jabatan hakim, tetapi kepada Saul diperhitungkan jabatan raja. Nanti lama-lama keturunanku tidak dapat jatah kekuasaan di Israel ini. Saul harus mati!” Samuel sangat bersyukur untuk Saul. Dari mana kita tahu hal ini? Karena ayat 20 dan juga karena ketika Saul menolak Tuhan Samuel berdoa kepada Tuhan semalam-malaman demi Saul (1Sam. 15:11). Samuel tidak pernah mementingkan diri sendiri, atau jabatannya, atau pengaruhnya. Jika waktunya dia turun dia akan turun. Bahkan lebih dari itu. Dia turun sambil promosikan orang yang akan menjadi raja. Orang yang secara tidak langsung menyebabkan dia harus turun jabatan. Jika Saul pernah diangkat oleh orang seagung Samuel, mengapa dia tidak belajar dari Samuel ketika Tuhan mempromosikan Daud sebagai pahlawan baru bagi Israel?
Demikian kita melihat bahwa Tuhan sering memberkati orang dengan sangat limpah walaupun orang tersebut tidak layak. Saudara dan saya tidak layak menerima apa pun dari Tuhan. Tetapi mari kita pikirkan apa yang Tuhan sudah kerjakan dalam hidup kita masing-masing. Terlalu banyak kemuliaan dan anugerah yang sudah kita terima. Lihat bagaimana Tuhan memberkati hidupmu. Apakah itu pekerjaan yang baik, suami yang baik, istri yang baik, kedudukan yang terpandang, keluarga yang baik, dan yang paling agung dari semua: penebusan kita oleh Sang Mesias, Yesus Kristus! Ingat bahwa engkau tidak layak mendapatkan satu pun dari semua itu. Saul ditinggikan Tuhan dengan memakai Samuel, sang nabi, sang hakim Israel, untuk mengangkat dia. Saul ditinggikan di depan seluruh tamu penting Samuel yang hadir pada jamuan setelah mempersembahkan korban. Bahkan pada waktu-waktu selanjutnya kita akan melihat bahwa Saul diberkati Tuhan dengan kemampuan khotbah yang tiba-tiba dia miliki (1Sam. 10:6), wibawa (1Sam. 11:6-7), seorang keturunan yang sangat mampu melanjutkan takhta kerajaan, yaitu Yonatan (1Sam. 14:12-14), dan bahkan seorang pemimpin pasukan muda yang sangat luar biasa bernama Daud, yang justru membuat dia iri hati (1Sam. 18:7-8). Perasaan tidak layak membuat kita makin peka menghitung semua anugerah yang Tuhan sudah berikan. Tetapi perasaan “saya seharusnya mendapat lebih!” justru akan membuat kita menjadi orang durhaka yang tidak pernah bersyukur kepada Tuhan. Dia mengangkat kita yang rendah dan hina dan memberikan kemuliaan yang tidak layak kita dapatkan. Saul yang rendah dan hina mendapatkan penghormatan dari Tuhan. Suatu penghormatan yang dia tidak layak terima. Daud yang rendah dan hina juga mendapatkan penghormatan dari Tuhan. Penghormatan yang juga tidak layak dia terima. Tetapi Saul merasa seharusnya dia mendapat lebih. Seharusnya dia dihormati Samuel. Seharusnya takhta menjadi milik keturunannya. Seharusnya saya dapat ini… seharusnya saya dapat itu… seharusnya saya diberi ini dan itu… Tetapi tidak demikian dengan Daud. Perasaan tidak layak terus dia miliki sehingga sampai akhir hidupnya dia begitu diberkati dan disertai oleh Tuhan. Dia terus merasa “seharusnya saya tidak layak”. Dan karena itu dia dilayakkan oleh Tuhan menjadi raja teragung di Israel. Raja yang keagungannya hanya dikalahkan oleh keturunannya sendiri, yaitu Yesus dari Nazaret.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita merasa semua yang kita dapatkan sudah selayaknya kita miliki? Apakah kita bahkan menjadi makin durhaka dengan mengatakan bahwa sudah selayaknya kita mendapatkan lebih daripada yang sekarang kita dapatkan? Ataukah kita terus memelihara perasaan tidak layak mendapatkan apa pun dari Tuhan?