Ku tak mengerti anugerah Tuhan yang diperbuat-Nya bagiku. Tak layak ’ku terima kasih Kristus tebusku jadi milik-Nya. Namun ini yang kupercaya bahwa Dia dapat memelihara apa yang tlah kuserahkan waktu aku percaya.
Sebuah himne yang mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita bukan? Sering kali kita menyanyikan lagu ini di gereja, mungkin saat kebaktian umum atau ketika persekutuan. Kita bisa menyanyikannya dengan begitu semangat. Setiap liriknya mengajak kita untuk mengatakan bahwa kita percaya akan apa yang telah kita serahkan kepada Tuhan. Kepercayaan seperti apa yang kita berikan kepada Tuhan? Apakah kepercayaan yang kita serahkan kepada Tuhan merupakan totalitas kehidupan kita ataukah hanya sebagian saja dari kehidupan kita? Atau kita dapat berkata seperti Ayub, “Allah yang memberi, Allah yang mengambil, Terpujilah Tuhan!”?
Alkitab mencatat ada seorang yang diuji imannya oleh Tuhan. Kitab Kejadian 22:1-19 menceritakan ketika Abraham diminta untuk mengambil anaknya yang tunggal yaitu Ishak, bahkan dikatakan sebagai anak yang “engkau kasihi” (ay. 2) untuk dipersembahkan sebagai korban bakaran. Alkitab tidak mencatat bagaimana perasaan Abraham saat itu, tetapi Abraham tidak tawar-menawar dengan Tuhan untuk tidak mempersembahkan Ishak. Abraham percaya dan taat kepada Allah. Pada ayat yang ketiga dikatakan, “Keesokan harinya pagi-pagi bangunlah Abraham, ia memasang pelana keledainya dan memanggil dua orang bujangnya beserta Ishak, anaknya; ia membelah juga kayu untuk korban bakaran itu, lalu berangkatlah ia dan pergi ke tempat yang dikatakan Allah kepadanya.” Mungkin kita akan bertanya, apakah Abraham sudah tidak waras ketika dia akhirnya memutuskan akan membawa Ishak untuk dikorbankan? Apakah Abraham tidak mengasihi Ishak? Tentu tidak, Abraham sangat mengasihi Ishak. Hal ini dicatat di ayat yang kedua. Tetapi apa yang membuat Abraham akhirnya mempersembahkan Ishak? Jawabannya adalah karena Abraham mengenal Siapa yang ia percaya, yaitu Allah yang hidup. Allah yang sanggup membangkitkan orang mati (Ibr. 11:17-19). Iman Abraham terlihat pada ayat kelima, Abraham berkata, “Tinggallah kamu di sini dengan keledai ini; aku beserta anak ini akan pergi ke sana, kami akan sembahyang, sesudah itu kami kembali kepadamu.” Hal ini dikatakan dengan suatu keyakinan bahwa Allah yang berjanji adalah Allah yang menepati janji-Nya.
Perjalanan iman Abraham bukan suatu perjalanan yang instan atau terbentuk dalam satu atau dua hari saja. Kalau kita melihat perikop sebelumnya, beberapa kali Abraham dan istrinya tidak percaya kepada Tuhan. Ketika malaikat datang mengatakan bahwa mereka akan memiliki anak di tengah usia tua mereka, mereka tertawa dan berpikir “bagaimana mungkin di tengah usia tua ini kami memiliki keturunan?” Tetapi adakah sesuatu hal yang mustahil bagi Allah?
Terkadang kita harus menghadapi keadaan di mana sulit bagi kita untuk percaya kepada Tuhan. Hal ini terjadi karena keadaan atau karena doa kita yang tidak kunjung dijawab. Kita sulit percaya kepada Tuhan ketika keadaan bukan makin membaik, tetapi malah makin sulit. Tuhan membentuk Abraham, dari seorang yang kurang percaya kepada Tuhan, hingga menjadi seorang yang tahu kepada Siapa ia menyerahkan seluruh kepercayaannya. Ketika keraguan itu datang, biarlah kita dapat mengatakan seperti perkataan seorang ayah yang
memohon kepada Yesus agar menyembuhkan anaknya yang bisu, “Aku percaya. Tolonglah aku yang tidak percaya ini!” (Mrk. 9:24).
Sudahkah kita menyerahkan seluruh kepercayaan kita kepada Tuhan? Percayalah!